Indonesia negara yang sangat beragam ada ribuan pulau, ratusan suku, dan lebih dari 700 bahasa daerah. Jadi wajar kalau terdapat cara ngomong orang beda-beda. Tapi sayangnya, enggak semua logat diperlakukan sama. Salah satu contohnya adalah logat Nias, yang cukup sering jadi bahan ledekan.
"Ini sebenarnya curhatan penulis. Bayangin aja sejak SD hingga lulus SMA, bahkan di usia yang cukup untuk menikah ini sesekali masih diperlakukan sama. Mereka niru cara orang Nias ngomong yang katanya aneh itu. Ironisnya, mereka tertawa setelahnya," ditulis pada Senin (19/5/2025) sekitar pukul 03.15 WIB.
Lanjut. Padahal, menurut para ahli antropologi linguistik, kayak Alessandro Duranti atau Dell Hymes, (baru nengok referensi di google), logat itu bukan cuma soal "cara ngomong", tapi bagian dari identitas kultural. Jadi pas orang Nias ngomong dengan logat khasnya, mereka sebenarnya sedang "memutar ulang" sejarah, budaya, dan nilai komunitasnya. "Semacam suara yang penuh memori kolektif."
"Lucu" Buat Kalian, Tapi Bisa Nyakitin Ternyata.
Logat Nias punya ciri khas intonasi naik turun, tekanan kata yang unik, dan kadang terdengar "tidak jelas" buat orang yang nggak terbiasa. Tapi banyak yang langsung ngecap, "ih lucu", "hurufnya ada yang kurang", atau yang lebih parah, kelompok-kelompok intelektual yang doyan baca buku, juga sering menertawakannya dari belakang.
Komentar kayak gitu sering muncul di sekolah, kampus, tempat kerja, bahkan di daerah (bukan Nias) tempat mereka tinggal. Dan lebih parahnya, sering dianggap candaan yang "gak usah dibawa serius".
Padahal buat banyak orang Nias, komentar kayak gitu bisa bikin, minder dan enggak Pede dalam beberap hal. Mereka jadi berusaha ngomong kayak orang Jakarta atau pakai bahasa Indonesia versi "TV" supaya diterima. Ini bikin mereka kehilangan kenyamanan jadi diri sendiri. (Jujur banyak orang Nias yang maksain sebenarnya).
Selain iti, auh dari Budaya sendiri. Kalau logat terus dijadikan bahan ledekan, lama-lama orang bisa mikir kalau bahasa dan budayanya itu "aib". Padahal itu warisan budaya yang berharga dan sangat perlu untuk dilestarikan.
Kenapa Bisa Gitu?
Menurut hemat penulis, masalah ini nggak terjadi karena satu-dua orang jahat. Ini lebih dalam. Ini soal struktur sosial yang udah lama terbentuk, di mana logat dari pusat kekuasaan (kayak Jakarta atau Jawa) dianggap "standar" atau "benar", sementara logat dari wilayah lain dianggap lucu, kampungan, intinya tak sesuai standart industri, hehehe.
Menurut Pierre Bourdieu, ini disebut sebagai dominasi simbolik. Bahasa, termasuk logat, katanya, itu punya kekuatan sosial. Logat dari kelompok dominan jadi punya "nilai lebih", sedangkan logat dari daerah yang secara ekonomi atau politik dianggap "pinggiran" jadi dianggap rendah.
Logika ini udah ada sejak zaman kolonial. Waktu itu, ngomong kayak Belanda atau pakai bahasa "tinggi" bikin orang dianggap elit. Sekarang, bentuknya berubah jadi "ngomong kayak orang Jakarta itu keren", sementara logat daerah dianggap nggak gaul.
Nggak Cuma Nias, Banyak Daerah Alami Hal Sama.
Orang dari Papua, Ambon, Toraja, Madura, dan banyak daerah lain juga sering ngalamin diskriminasi logat. Misalnya: logat Ambon sering diplesetin di sinetron jadi "kocak" atau logat Papua dikatain "kayak mau marah terus".
Padahal semua itu cuma stereotip yang dibentuk media dan obrolan sehari-hari, yang seolah-olah lucu, tapi sebenarnya bisa melanggengkan diskriminasi.
Apa yang Bisa Kita Lakuin?
Kalau kalian bukan bagian dari komunitas yang sering diledek logatnya, itu artinya kalian punya privilege. Tapi kalian juga bisa pakai privilege itu buat bantu ngubah cara pandang orang lain.
"Kalian cukup buka mata dan kelapa, eh kepala aja maksudnya. Soal diskriminasi logat pasti selesai."
Terakhir: Logat Itu Keren, Bukan Aib.
Logat bukanlah kesalahan yang harus dikoreksi. Ia adalah jejak suara dari sejarah dan budaya. Logat Nias, logat Papua, logat Bugis, logat Sunda semuanya punya cerita panjang di baliknya. Dan semua layak dihargai.
Referensi dan Inspirasi:
Duranti, Alessandro (1997). Linguistic Anthropology.
Hymes, Dell (1974). Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach.
Bourdieu, Pierre (1991). Language and Symbolic Power.
Hill, Jane H. (2008). The Everyday Language of White Racism.
Makalah linguistik terapan dan studi postkolonial di Asia Tenggara
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI