Senyumnya masih saja ditanggalkan di atas meja. Iya, pemuda itu, Halilintar yang sering Mega sebut sebagai Lintar. Entah apa yang dia pikirkan saat itu. Alam pun merasa aneh melihat apa yang ia lakukan detik itu. Angin-angin terus menghempas badannya yang sedikit berisi.Â
Suara kodok berlalu-lalu lalang ditelingaku dan telinganya. Kicauan burung di belakang rumah menambah aneh apa yang aku lihat dalam dirinya. Serasa sebongkah bola api bukan menjadi alasan ia gelisah, tetapi bongkahaan es batu menjadi kegelisahannya. Tidak dingin seperti biasa, dan kini ia menjadi panas, berkat surya yang sudah menunjukkan sedikit wajahnya diantara kaut tebal yang menyelimuti rumah kami.
Alam terasa sejuk, tapi juga tidak. Mega pun datang kepada Lintar. "Hai, kawan. Masihkan angin ribut itu terus mengganggumu? Ataukah kicauan mulut mereka masih membiaskan pandanganmu?"
"Sudahlah Mega, aku pun bisa apa?"
"Hmm, aku pun tidak tahu kamu harus melakukan apa. Baiklah, aku akan ke pasar membeli bahan-bahan sup daging. Aku akan memasaknya untukmu."
"Terima kasih kawanku."
Mega kala itu cukup tersenyum. Sandal jepitnya selalu setia menemaninya ke manapun, termasuk ke pasar untuk membeli bahan-bahan sup daging. Aku masih tidak percaya. Masih ada perempuan yang rela berjalan menyusuri parit-parit sawah demi pemuda itu. Baiklah, aku hanya bisa mengatakan, sungguh luar biasa semesta ini, ada pasangan yang elok untuk dipandang setiap hari.
Beberapa saat kemudian...
"Lintar, aku pulang."
"Mega." Wajahnya sedikit memerah, pertanda dia sedikit membaik dari pagi tadi.
"Iya, Lintar."
"Ambilkan aku segelas air bening yang ada di teko dekat termos hijau!"
"Baiklah, Lintar."
Masih saja Mega kemana-mana dengan sandal jepitnya. Juga ke dapur untuk mengambilkan air minum untuk Lintar.
"Ini untukmu."
"Aku masih belum bisa memegangnya dengan baik."
Senyum sedikit ada di bibir Mega. "Sini aku pegangkan untukmu."
Lintar meminum dengan lahap air itu.
"Terima kasih, Mega. Aku akan kembali istirahat."
"Iya, Lintar, sama-sama. Sembari kamu tidur, meneruskan mimpimu semalam, aku akan memasak supp daging untukmu."
Mega beranjak dari tempat Lintar berbaring dan menuju dapur. Sebuah tempat memasak yang Ayah Lintar bangun untuk Ibunya yang suka memasak. Tapi, kini dapur itu jarang dipakai karena orangtua Lintar sudah tidur dalam perut bumi beberapa tahun lalu.
Sayuran dan daging Mega potong dengan baik, ukurannya hampir sempurna sama semua. Bumbu ia uleg dengan penuh kasih, tiada sedikit keringat datang mengusik bumbu yang sudah sempurna.
***
Aku jadi ingat, dahulu Mega dan Lintar sering bercengkerama bersama di bawah pohon mangga di depan rumah Lintar. Suasananya cerah dan sejuk, Ibu dan Ayah Lintar membuat rujak mangga. Sedap rasanya, aku pun pernah mencicipinya, meski yang jatuh di tanah.Â
Tapi, rasanya tetap sedap, tidak kalah nikmat dari yang sudah ada di piring kala ini. Tapi, aku sudah lama tidak melihat mereka berdua membuat rujak itu. Entah. Aku juga tidak mengerti. Aku pernah mencoba memberitahu itu pada Lintar, tapi tidak pernah dihiraukan.
"Mega... Mega.." Lintar rupanya sudah bangun. Ia tidak berani melongoknya di kamar, karena kemarin ia baru memarahi Mega.
"Iya, Lintar."
"Ambilkan sabit yang ada di samping rumah."
"Apa yang akan kamu lakukan pada sabit itu?"
"Sudahlah, jangan tanya lagi, cepat ambilkan untukku." Wajah Mega sedikit kesal, tapi tetap saja ia ambilkan itu untuknya.
"Aku akan pergi ke ladang dekat rumah, kasihan hewan-hewanku, belum aku beri makan."
"Tapi, kamu masih terlihat belum sehat betul. Sebaiknya istirahat dulu. Biar aku bawa mereka ke ladang, akan aku tunggui sampai mereka kenyang makan rumput."
"Ah, tidak usah. Aku tidak ingin membuat kulitmu yang bersih menjadi gelap karena matahari siang."
"Kamu ini bicara apa?"
"Mana sup daging untukku?" Lintar mengalihkan pembicaraannya dengan Mega. Hanya untuk menghindari perdebatan saja. Mega pergi ke dapur dan mengambil sup secukupnya untuk Lintar. Tidak lupa juga nasi dan kopi hitam tanpa gula.
"Ini sup dan kopi untukmu. Cepat dimakan, kalau dingin nanti tidak sedap lagi."
"Iya, nona manis." Goda Lintar. Mega pun hanya tersenyum malu.
***
Malam mereka kembali dipenuhi tawa. Dan aku masih diam di depan rumah mendengarkan pembicaraan sepasang kekasih itu. Angin ikut ribut, hujan pun ikut berjatuhan, petir juga tidak ingin kalah pamor, suaranya menggelegar.Â
Apalagi suara kodok dan jangkrik yang terus berlomba menyanyikan suara terbaik mereka. Baiklah, aku akan diam di sini sja, di depan rumah bersama ulat bulu dan cacing tanah. Meski kadang aku merasa tidak nyaman melihat kedua hewan tanpa tulang belakang itu.
"Lintar, haruskah aku kembali ke rumahku sekarang?"
"Untuk apa? Aku kan tidak menyuruhmu pulang? Jadi mengapa kamu bertanya demikian?"
"Tidak, aku hanya merasa tidak nyaman apabila aku terlalu lama di rumahmu dan bermalam. Apa kata mereka nantinya."
"Sudahlah Mega, jangan hiraukan mereka. Mereka tidak pernah tahu alasan kamu ada di sini. Hanya kamu yang aku punya sekarang. Kalau kau mau, besok pagi juga aku akan melamarmu di hadapan nenekmu."
"Lintar, bukan itu yang aku mau. Kita masih muda, masih harus berkeliaran mengelilingi dunia dulu, bukan terburu melamarku."
"Lantas, apa yang membuatmu gelisah malam ini?"
"Aku tidak tahu."
Mata Lintar menatap tajam mata Mega. Tangannya dingin, badannya berkeringat, suasana dingin tetapi hangat. Aku tidak paham apa ini. Akankah Lintar melakukan itu?
"Lintar!"
"Iya, Mega. Mengapa tatapanmu kosong?"
"Tidak, aku hanya sedikit cemas dan gelisah tentang malam ini."
"Sudahlah, tidak akan ada yang mengganggu kita."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI