Mohon tunggu...
Junaedi Eddy
Junaedi Eddy Mohon Tunggu... Seniman - Tak ada yang perlu diterangkan. Saya adalah rakyat Indonesia.

Rakyat biasa. Bukan siapa-siapa. Dan bukan apa-apa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Elegi Ibu Pertiwi

24 Februari 2020   14:52 Diperbarui: 10 Mei 2020   04:15 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Elegi Ibu Pertiwi - Jun Noenggara

Piring-piring nasi gelas-gelas kopi masih bersih di lemari. Pagi ini langit muram sekali. Tak ada senyuman mentari di bibir ibu Pertiwi

Di kamar mandi ada yang bersenandung sedih sekali. Di halaman rumah bunga-bunga layu tak lagi berseri. Dan burung-burungpun seperti sedang sakit gigi, tak lagi riang bernyanyi

Di tengah ruangan dihidangkan aneka berita televisi dari yang sudah basi hingga yang masih hangat sekali tentang duka negeri ini yang dilanda bencana tak henti-henti, di sana-sini

Di mana-mana pohon-pohon ditebangi, kayu-kayunya dicuri dan dijual ke luar negeri. Dan ketika musim berganti kita tak dapat lagi berlari menghindar dari terjangan bah tragedi

Sungai-sungai dicemari. Ikan-ikannya pada mati dan tak lagi dapat dikonsumsi. Dan kita mandi berlumur mercury

Di Bandung. Di Padang. Di Galuga dan di seluruh pelosok negeri orang-orang pada mati terkubur gunungan sampah buangannya sendiri. Ratusan ribu anak ibu Pertiwi direnggut nyawanya ketika laut mengamuk ganas sekali. Menjulurkan lidahnya hingga jauh ke ujung barat bumi. Mereka mati diterkam tsunami. Mereka mati di serambi rumah Ilahi. Di serambi rumah Pertiwi 

Dan lumpur lapindo belum mau berhenti menyemburkan nanah dari lukanya yang amat dalam di hati. Habis disetubuhi beramai-ramai dengan kejam sekali

Jangan salahkan kami, kilahnya. Mereka sibuk berargumentasi. Tak lagi acuh pada janji-janji

Dan kitapun terpaksa pergi menyisi. Berbondong-bondong sebagai pengungsi. Berkelahi demi sebungkus mie. Antri berebut minyak dan gas bumi, tabungan ibu Pertiwi yang hilang dan susah dicari

Ya Ilahi, betapa pilu hati ini. Wajah ibu Pertiwi yang dulu cantik sekali, jadi rebutan para koloni, kini hancur di tangan suami dan anak-anaknya sendiri!

Jakarta, 2005

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun