Mohon tunggu...
Julkhaidar Romadhon
Julkhaidar Romadhon Mohon Tunggu... Administrasi - Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Pengamat Pertanian Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya. Http//:fokuspangan.wordpress.com Melihat sisi lain kebijakan pangan pemerintah secara objektif. Mengkritisi sekaligus menawarkan solusi demi kejayaan negeri.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menelaah Apa yang (Tengah) Diributkan Budi Waseso

10 Juli 2019   13:03 Diperbarui: 10 Juli 2019   13:15 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dampaknya sudah semakin kentara dan terang benderang. Beras yang diserap Bulog akan menumpuk di gudang, lama kelamaan menjadi rusak dan tugas Bulog yang lebih besar selanjutnya seperti menstabilkan harga ditingkat konsumen dan petani tidak akan tercapai. Itulah latar belakang, Budi Waseso menegaskan akan mundur jika penyaluran beras selama ini diambil alih oleh Kementerian Sosial.

Buwas juga menyinggung bahwa hendaknya beras bantuan sosial janganlah dijadikan proyek bisnis. Dia juga menegaskan bahwa penyalurannya ini jangan berpihak kepada mereka yang menjadikannya sebagai lahan mencari keuntungan. Secara tidak langsung, Buwas mengkritik pedas kebijakan BPNT yang kental dengan aroma mekanisme pasar. Ia menginginkan pemerintah tidak abai terhadap kebijakan yang menyangkut kebutuhan hajat hidup orang banyak.

Kebijakan perberasan seharusnya memang perlu dikontrol oleh pemerintah, bukan dibiarkan membentuk keseimbangannya sendiri. Argumentasi pemerintah mengalihkan program Rastra menjadi BPNT sangatlah lemah dan terkesan tidak memikirkan dampak lanjutannya yang lebih besar.  

BPNT dan Dilemanya

Beberapa argumentasi keunggulan BPNT yang didengungkan pemerintah sebenarnya banyak yang sudah dipatahkan oleh para pengamat. Namun waktu itu, Kemensos tetap saja tidak meyakininya sembari melakukan uji coba pada 44 kota pada tahun 2017, dan bertahap agar menjadi 100% di tahun-tahun selanjutnya.

Disisi yang lain, pemerintah juga sudah secara langsung mengungkap kelemahan dari program BPNT. Namun kelemahan ini dianggap biasa-biasa saja dan merupakan hal wajar. Padahal justru hal inilah yang akan menimbulkan polemik di masa yang akan datang.  Berikut beberapa pernyataan mengenai BPNT dari pemerintah beserta argumentasi dari pengamat yang mementahkannya.   

Pernyataan pertama, "kelemahan dari bantuan lewat kartu ini yakni pemerintah tidak mampu mengontrol harga pangan yang dijual oleh e-warong". Argumentasi yang mematahkannya adalah bahwa stabilisasi harga sangat dibutuhkan negeri ini dalam menjalankan aktivitas perekonomiannya. Beras merupakan makanan pokok yang sangat powerfull dan sudah menjadi rahasia umum sebagai lokomotif kenaikan harga pangan lainnya. 

Semua pasti ingat dan mengetahui bahwa beras merupakan golongan bahan makanan yang sangat besar menyumbang inflasi. Ingatkah krisis 1998, gara-gara inflasi super tinggi, harga pangan meroket, 10 juta orang kehilangan pekerjaan hingga memicu kerusuhan sosial berupa penjarahan dimana-mana. Selain itu jangan kita lupakan juga peristiwa tritura tahun 1966, serta runtuhnya Uni Sovyet karena langkanya pangan yang memicu tingginya harga.

Pernyataan kedua "kelemahannya (BPNT), jadi harga beras misalnya, itu terserah dari agen. Pokoknya satu bulan penerima dapat Rp 110.000, dia bisa beli beras harga berapapun. Kalau dia mau beli yang lebih mahal juga silahkan. Karena dengan kartu itu, warga miskin bisa membeli beras yang lebih mahal dan kualitasnya lebih bagus dari beras standar Bulog untuk rastra"

Argumentasi yang mematahkannya adalah bahwa inilah yang selalu ditakutkan para pengamat kebijakan pangan yaitu "mekanisme pasar" atau "liberalisasi pasar". Ditengah maraknya kasus mafia pangan yang sudah terungkap oleh satgas pangan, seharusnya membuat pemerintah semakin yakin bahwa BPNT belum tepat untuk diimplementasikan di Indonesia. 

Pernyataan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang mengatakan bahwa struktur pasar beras di tingkat petani cenderung kompetitif, sedangkan ditingkat konsumen cenderung oligopoli menjurus kartelisasi seharusnya dijadikan panduan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun