Pagi itu, matahari mulai menyinari langit Sidoarjo dengan cahaya keemasan. Aku, Arman, sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah seperti biasa. Setelah membantu ibu menyiapkan beberapa kebutuhan di Lintas Garis Coffee, aku mengucapkan salam pada ibu dan Anjani, lalu bergegas menuju SMAN 4 Sidoarjo. Hari ini, aku merasa ada sesuatu yang berbeda, seolah ada energi baru yang mengalir dalam diriku.
Sesampainya di sekolah, aku langsung menuju kelas dua belas. Di sana, dua sahabatku, Ragil dan Rendra, sudah menungguku. Kami bertiga sudah seperti tiga serangkai yang tak terpisahkan sejak kami duduk di bangku SMP. Ragil, si jenius matematika dengan kacamata tebalnya, selalu menjadi tempatku bertanya ketika ada soal-soal rumit yang tak bisa kupecahkan. Sementara Rendra, si atletis dengan tubuh tinggi besar, adalah teman yang selalu membawa semangat dan tawa dalam setiap momen.
"Armannn, telat lagi nih! Kamu kapan bisa datang tepat waktu?" sapa Rendra sambil tertawa ketika aku memasuki kelas.
"Ah, santai aja, Ren. Aku kan harus bantu ibu dulu di kafe," jawabku sambil meletakkan tas di bangku sebelah Ragil.
Ragil hanya tersenyum sambil mengangguk. "Sudah siap untuk ulangan matematika hari ini?" tanyanya dengan nada tenang.
"Jangan tanya, Gil. Aku masih bingung sama materi integral itu," keluhku sambil menghela napas.
Ragil langsung mengambil bukunya dan mulai menjelaskan dengan sabar. Itulah yang kusuka dari Ragil---dia selalu punya cara untuk membuat hal-hal rumit terlihat mudah. Sementara Rendra lebih memilih untuk bercanda dan mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang lebih ringan, seperti rencana kami setelah lulus nanti.
"Eh, ngomong-ngomong, kalian udah punya rencana buat kuliah di mana?" tanya Rendra tiba-tiba.
Aku mengangkat bahu. "Aku sih masih mikir. Tapi mungkin mau ambil jurusan manajemen atau bisnis. Biar bisa bantu ngembangin Lintas Garis Coffee."
"Wah, serius? Keren dong, Arman! Jadi pengusaha muda gitu," sahut Rendra antusias.