Mohon tunggu...
Julita Hasanah
Julita Hasanah Mohon Tunggu... Ilmuwan - Masih Mahasiswa

A Long Life Learner

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanpa Selembar Ijazah, Ibu Mengantarku ke Jenjang Pendidikan Master

6 Desember 2020   11:43 Diperbarui: 6 Desember 2020   11:45 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak Ada Pengecualian bagi Perempuan untuk Mengenyam Pendidikan 

Ibu tak pernah punya ijazah, sebagai gadis desa pendidikannya harus berakhir pada jenjang kelas dua sekolah dasar. Meski begitu cara pandang beliau terhadap pendidikan membuatku takjub. Dibesarkan di lingkungan desa dimana kebanyakan anak perempuan bukanlah prioritas untuk sekolah tak membuat Ibu memperlakukan hal yang sama kepadaku. Di tengah keterbatasan ekonomi, bagi Ibuku pendidikan adalah  keharusan bagi semua anak-anaknya.

Sumber: smartparenting.com
Sumber: smartparenting.com

Ibu tak menomorduakan diriku untuk memperoleh pendidikan tinggi meski Aku seorang perempuan. Ibu membiarkanku tumbuh ditemani narasi-narasi hebat. Katanya anak perempuan dijinkan bermimpi dan berhak punya capaian tanpa harus didera rasa cemas akan perkataan ujung-ujungnya di dapur yang kerap mengintai telinga perempuan. 

Tak hanya membekali diri dengan motivasi dan harapan, Ibu juga mengajarkan untuk menyadari realita bahwa mimpi yang besar harus disertai usaha yang besar. Jika mimpinya saja yang besar namun usaha nihil yang ada hanya akan membuat diri terjun bebas dari ketinggian, tentunya sakit. Begitu yang selalu beliau ucapkan sambil melipat baju atau menyapu halaman sore hari.

Bagiku yang kini berkesempatan menempuh studi magister pada salah satu universitas kenamaan adalah sebuah privilese yang mungkin tidak didapatkan anak perempuan lainnya. Tentunya ini semua berkat doa dan dorongan dari Ibu. 

Menolong Tanpa Rasa Sombong  

Pernah satu ketika ada seorang nenek menawarkan satu keranjang manggis hasil panennya ke rumah. Tanpa ragu Ibu membeli manggis tersebut dengan harga lebih. Ibu kemudian mempersilahkan nenek tersebut duduk berbincang sambil makan bersama kami. Usut punya usut ternyata nenek tersebut tinggal di desa sebelah dimana perjalanan ditempuh hanya dengan jalan kaki. Yang lebih mengagetkan, selang beberapa hari Nenek itu datang kembali sembari membawakan buah tangan sebagai ucapan terima kasih karena Ibu pernah membantunya di kala susah.

Tak hanya nenek penjual buah manggis, Ibu juga sangat ramah dengan tukang sayur dan tukang sampah. Tanpa segan Ibu seringkali mengajak mereka ngobrol dan minum teh bersama. Bagi mereka perlakuan Ibu mungkin istimewa, karena tak semua orang dapat menerima kehadiran mereka seperti yang Ibu lakukan.

Itulah Ibuku yang berhati emas. Dari Ibu Aku belajar untuk menolong tanpa rasa sombong. Kita sama-sama manusia, jika kemudian kita berlebih wajib berbagi tanpa mengerdilkan hati orang yang Kita tolong.

Padahal sekarang banyak sekali orang yang memberi hanya sekadar untuk pamrih. Memberi dengan pongah, kadang sampai dilempar pula uang pemberiannya pada pengemis atau pengamen. Ada pula yang memberi bantuan sambil memotret orang yang ditolong untuk dibagikan ke sosial media sebagai pembuktian dirinya orang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun