Mohon tunggu...
Juliana Pusvitasari
Juliana Pusvitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang tertarik dengan hal yang berkaitan dengan akuntansi, perpajakan, dan audit

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mengapa Orang Menipu? Evolusi di Balik Teori Fraud

13 Oktober 2025   18:56 Diperbarui: 13 Oktober 2025   18:56 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Evolusi Teori Motivasi Fraud (Sumber : Ilustrasi Penulis, 2025)

Kecurangan (fraud) merupakan ancaman fundamental yang dapat menyebabkan kerugian finansial dan reputasi yang signifikan bagi organisasi di seluruh dunia, sebuah fakta yang terus dikonfirmasi oleh laporan global terkini (ACFE, 2024). Untuk memerangi ancaman ini, para akademisi dan praktisi telah lama berusaha memahami motivasi yang mendorong individu melakukan tindakan tersebut. Kerangka kerja konseptual untuk menjelaskan fenomena ini telah berevolusi secara signifikan, bergerak dari model yang berfokus pada situasi eksternal menuju paradigma yang lebih holistik dan multidimensional.

Fondasi Awal dan Keterbatasannya: Teori Fraud Triangle
Titik awal dari studi motivasi kecurangan modern diletakkan oleh Donald R. Cressey pada tahun 1953 melalui Teori Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle Theory). Teori ini mengemukakan bahwa kecurangan cenderung terjadi ketika tiga elemen hadir secara bersamaan: tekanan (pressure) seperti masalah finansial, peluang (opportunity) yang timbul dari lemahnya kontrol internal, dan rasionalisasi (rationalization) atau pembenaran atas tindakan tersebut (Kusuma et al., 2025; lhaksmi & PRP, 2022). Meskipun menjadi landasan yang esensial, teori ini memiliki keterbatasan yang signifikan. Kritik utama menyatakan bahwa Fraud Triangle terlalu berfokus pada faktor-faktor situasional dan cenderung mengabaikan karakteristik individu pelaku (Shodiq et al., 2025). Teori ini tidak sepenuhnya menjelaskan mengapa dalam kondisi yang identik, hanya sebagian individu yang melakukan kecurangan, yang mengindikasikan adanya faktor internal lain yang berperan.

Pengembangan Model: Fraud Diamond dan Fraud Pentagon
Menjawab keterbatasan tersebut, Wolfe dan Hermanson (2004) mengembangkan Teori Fraud Diamond dengan memperkenalkan elemen keempat, yaitu kapabilitas (capability). Elemen ini merujuk pada sifat dan keahlian pribadi yang memungkinkan seseorang untuk mengenali celah, merencanakan, dan mengeksekusi kecurangan secara efektif. Kapabilitas menjadi faktor pembeda krusial, karena tekanan dan peluang tidak akan terealisasi menjadi kecurangan tanpa individu yang memiliki posisi, kecerdasan, atau kepercayaan diri untuk memanfaatkannya (Annisa & Kuntadi, 2024).

Evolusi berlanjut dengan diperkenalkannya Teori Fraud Pentagon oleh Crowe (2011), yang menambahkan elemen arogansi (arrogance) dan kompetensi (competence). Arogansi menggambarkan sikap superioritas pelaku yang merasa dirinya kebal terhadap aturan dan sistem pengendalian (Yosef dan Sumarna 2024). Perkembangan ini menandai pergeseran paradigma yang signifikan, dari yang awalnya hanya melihat faktor eksternal menjadi pemahaman yang mengintegrasikan dimensi psikologis dan etika pelaku. Bahkan, model yang lebih baru seperti Fraud Hexagon dan Fraud Polygon terus memperluas kerangka ini dengan memasukkan faktor kolusi dan dorongan psikologis seperti sensasi mengambil risiko (thrill of risk-taking) (Vousinas, 2019; Roffia dan Poffo, 2025).

Implikasi bagi Audit Forensik di Indonesia
Evolusi teori ini memiliki implikasi mendalam bagi praktik audit forensik modern. Auditor tidak lagi dapat hanya mengandalkan pemeriksaan terhadap sistem pengendalian internal. Mereka dituntut untuk mengembangkan prosedur yang lebih tajam yang mencakup penilaian risiko berbasis perilaku, seperti mengidentifikasi tanda-tanda arogansi atau perubahan gaya hidup pelaku. Konteks Indonesia memperkuat urgensi pendekatan ini. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada tahun 2024 mengalami penurunan, mengindikasikan meningkatnya toleransi masyarakat terhadap praktik koruptif (BPS, 2024). Fenomena ini menunjukkan bahwa faktor rasionalisasi sosial dan tekanan sosio-ekonomi masih sangat relevan. Dengan demikian, pemahaman holistik yang ditawarkan oleh teori-teori fraud kontemporer menjadi krusial bagi auditor forensik untuk dapat mendeteksi dan mencegah kecurangan yang semakin canggih di lingkungan yang kompleks.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun