Malam hari sering kali bermuka dua, nuansanya sangat berbeda dengan pagi atau siang. Ia menyembunyikan atau sebagai tempat pelarian bagi jiwa-jiwa yang jenuh dengan karunia sang fajar.
Dalam keadaan setengah sadar, Jenny mendapati dirinya terbaring di kasur besar, berselimut tebal. Dengan lemas Ia angkat selimut yang meniban lehernya dengan kedua tangannya.
 Betapa terkejutnya Jenny melihat tak ada sehelai benangpun yang melilit di tubuhnya.
"Hah, itu seperti Pak Irwan!" Diujung kasur sana terlihat sosok pria gemuk yang telah berumur.
Pria itu berdiri terlanjang bulat sedang berusaha memakai celana dalam berwarna putih berukuran besar.
"Ya Tuhan, bodoh sekali hambamu ini, bercumbu dengan laki-laki tua yang,,,,,," Jenny membatin dan ia tak sanggup melanjutkan kata-kata dalam pikirannya.
"Aku ingin nangis saja Tuhan".
Jenny berusaha untuk nangis namun air mata kesedihan itu tak juga turun. Ia kembali menarik dan membenamkam wajahnya dalam selimut besar itu. Ia mencoba mengingat-ingat sesuatu yang terjadi sebelum berada di kamar terkutuk ini.
Terbayang akan gambaran masa lalunya. Ibunya yang memandikannya di halaman belakang rumah sewaktu masih kecil. Lalu Ia teringat ayahnya yang membelikan sepeda pertamanya, ia teringat akan cara-cara bahagia dengan sederhana. Senang dan bahagia waktu dibelikan coklat hingga tak habis-habis Jenny mencium dan memeluk Ibunya. Atau ia memanjat pundak Ayahnya dikala setelah Ayahnya selesai sholat.
"SENANG-SENANG ITU HAK SEMUA ORANG, MISKIN BODOH SEMUA PERLU HIBURAN" Dering telepon berbunyi, bukan nada yang Jenny kenal. Itu sejenis musik remix atau koplo, seperti lagu-lagu yang sering berputar di tik-tok atau instagram.