Mohon tunggu...
resista hakares
resista hakares Mohon Tunggu... Administrasi - sederhana mensyukuri apa adanya

bisa jadi apa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bottle Neck

4 Maret 2022   09:45 Diperbarui: 4 Maret 2022   09:52 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore ini kemacetan mengular sedikit lebih parah dari biasanya karena pertigaan titik kemacetan masih jauh berjarak ratusan meter di depan. Rudy sengaja mengambil jalan ini karena menghindari jalan protokol yang lebih besar, di jam-jam pulang kantor seperti sore ini biasanya di jalan protokol tersebut sering macet. Satu-dua menit semenjak mengangkat rem tangan, mobil ini belum juga beranjak sedikitpun dari perhentiannya. Sepertinya ada sesuatu yang kurang ajar di depan sana, karena kendaraan dari arah berlawanan nya pun hanya sedikit yang melintas, yang mengartikan ada ketersendatan di depan sana. Bila lancar hanya membutuhkan satu-dua menit untuk bisa sampai di pertigaan jalan itu.

Tenggok ke kiri dan kanan, berbagai plang-plang di bacanya satu-persatu. Kebanyakan dari mereka berjualan makanan. Disebelah kiri ada sebuah Danau yang cukup besar, namun kita tidak bisa melihatnya secara langsung, bukan karena jauh dari pandangan namun karena terhalang oleh berbagai rumah makan. Atau bisa juga melihatnya dengan mem fokuskan mata  melewati sela-sela kaca dan tembok yang tidak rapat.

Menyesali telah mengambil jalan yang salah, ingin putar arah tetapi sudah terlampau jauh. Sebenarnya ada satu jalan alternatif lain. Sebelum di kemacetan ini ada satu komplek perumahan yang menghubungkan antara jalan kecil ini menuju jalan utama. Biasanya Rudy melewati jalur ini karena pasti tidak ada kemacetan di dalamnya. Namun itu dulu, waktu rasa berbagi masih tinggi, sekarang zaman sudah serba privasi atau prifilege. Mobil yang bukan penghuni perumahan itu harus menitipkan Ktp atau Id Card di salah satu pos agar keluar lewat pos itu lagi. Hanya motor masih ada toleransi, masih boleh melewati jalan itu.

15 menit sudah berlalu, namun baru setengah perjalanan menuju pertigaan kemacetan itu. Rudy mengeraskan volume Radio, mencoba membunuh waktu dengan menyanyikan lagu yang tak ia mengerti maknanya. Satu-dua lagu mencoba untuk menikmatinya, lagu ke tiga, empat, lima sudah bosan, hanya seliweran nada dan ketukan, tanpa makna.

Ia berharap ada sedikit kejutan untuk membuyarkan lamunannya. Berharap di belakang ada mobil ambulance yang sedang terburu-buru, lalu dibuntuti oleh mobil pribadi yang ambil kesempatan. Terus pecahlah kesunyian bersama suara klakson dan jeritan sirine ambulance, karena mereka minta buru-buru dan minta keadilan. Saling selak, saling ngotot, saling sabar, nampaknya lebih seru. Namun semua itu tidak terjadi, sekarang ia terperangkap di tengah kemacetan, berjalan lambat bagai siput.

Sore ini nasib sedang baik, kendaraan ramai dan ada galian PDAM di dekat situ. Bang Bogel dan beberapa kawannya berprofesi sebagai Polisi Cepek atau Pak Ogah. Moment membludaknya kendaraan dan galian di pinggir jalan, jangan sampai di sia-siakan begitu saja. "sebagai putra daerah kita harus mendapatkan keuntungan, jangan hanya dapat asap dan kotoran saja" Begitulah kilahnya untuk menutupi rasa iri yang membatu.

Ini bisa di kutak-kutik sedikit, sisi yang ramai ditahan agak lama hingga para pemotor atau angkutan umun yang tak bisa tertib menyerobot untuk berada di tengah pertigaan, lalu dari arah kiri yang terdapat galian diberi jalan sedikit demi sedikit dan terjadilah himpitan bottle neck di kedua arah.

 "Ayoo terus-terus, pepet kanan". Dengan sungguh-sungguh ia bekerja, gayanya entah sebagai wasit atau pelatih sepakbola. "Nah cakep nih, mampet nya pas." Merasa bangga akan karyanya.

Setelah merasa puas dengan hasil kerjanya, Bang Bogel undur diri untuk orang lain menggantikan posisinya dan untuk bisa memanjakan temboloknya di warung indomie tak jauh dari situ. Dipesannya kopi dan rokok, dicomotnya gorengan tempe.

Berbagai macam pekerjaan pernah ia cicipi, dari berdagang di pasar, kuli bangunan, buruh pabrik, jual narkoba, OB Rumah sakit, dll. Dari yang halal hingga yang haram. Apa saja ia kerjakan untuk mendapatkan uang. Terbayang wajah istri dan anak dirumah, sebentar lagi si sulung ingin masuk SMP dan yang kecil ingin masuk SD. Entahlah dengan cara apa uang itu dapat terkumpul, untuk urusan dapur saja masih sering kurang.

Kaca supir terbuka adalah semangatnya. Jalan yang ramai seperti ini juga tidak setiap hari, lebih banyak sepinya. Para pengendara bisa menyebrang tanpa arahan dari Pak Ogah, bila begini hanya sedikit orang yang memberi ongkos kepadanya. Menjadi Polisi Cepek kadang ia bertugas dengan benar untuk kelancaran jalan kadang juga untuk membuat runyam jalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun