Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eksistensi ANRI: Sejauh Mana Peran Penentu Otentisitas Sejarah di Era Keterbukaan

14 Oktober 2025   08:13 Diperbarui: 14 Oktober 2025   08:13 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung lama ANRI yang berlokasi di Jalan Gajah Mada, Jakarta. | Wikipedia/M Bacon via Kompas.com

Peran Sentral Arsip Nasional di Tengah Badai Keterbukaan

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) adalah lembaga negara yang bertanggung jawab penuh atas penyimpanan dan pengelolaan arsip statis. Arsip-arsip ini adalah rekaman resmi dan otentik dari perjalanan sejarah bangsa. Keberadaan ANRI sangat penting karena ia adalah gudang memori kolektif yang menjadi rujukan kebenaran faktual. Tanpa ANRI, kita akan kesulitan membedakan mana fakta sejarah yang asli dan mana yang sekadar isu atau kabar burung.

Namun, di era digital dan keterbukaan informasi seperti sekarang, peran ANRI dihadapkan pada tantangan besar. Tuntutan masyarakat akan transparansi dan akses terhadap data publik semakin meningkat. Masyarakat tidak lagi puas hanya dengan cerita, mereka menuntut bukti primer yang tersimpan rapi di dalam lemari-lemari arsip.

Tantangan ini terlihat jelas dengan adanya peristiwa sengketa informasi publik. Tepat pada hari Senin, 13 Oktober 2025, Majelis Komisi Informasi Pusat (KIP) memulai sidang perdana untuk kasus yang melibatkan ANRI. Ini bukan sekadar kasus biasa, melainkan sorotan tajam terhadap fungsi vital lembaga kearsipan.

Gugatan ini diajukan oleh seorang Pengamat Kebijakan Publik bernama Bonatua Silalahi. Inti dari gugatan tersebut adalah ketidakpuasan pemohon karena tidak mendapatkan salinan data primer ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari pihak ANRI. Pemohon meyakini bahwa dokumen tersebut adalah arsip publik yang seharusnya dapat diakses.

Kasus sengketa ijazah ini bukan hanya tentang satu dokumen, melainkan tentang bagaimana ANRI menafsirkan dan menerapkan Undang-Undang Kearsipan di tengah pusaran isu politik dan permintaan publik yang sensitif. ANRI sebagai penjaga otentisitas dituntut untuk menunjukkan dokumen asli, tetapi juga harus berhati-hati agar tidak melanggar aturan perlindungan data atau kerahasiaan tertentu.

Peran ANRI sebagai penentu otentisitas dipertaruhkan di meja hijau KIP. Keputusan KIP nanti akan menentukan batas-batas antara hak masyarakat atas informasi dan kewajiban ANRI untuk melindungi arsip negara. Ini adalah momen krusial yang menguji eksistensi ANRI dalam menjalankan mandat ganda: melayani dan melindungi.

ANRI harus menjelaskan secara gamblang apakah dokumen ijazah yang diminta termasuk kategori arsip statis terbuka, ataukah ada pertimbangan hukum lain yang membatasi akses salinan data primernya. Keterbukaan prosedur dan dasar hukum ANRI dalam menanggapi permintaan ini menjadi kunci untuk meredam polemik dan menegakkan kepercayaan publik.

Dilema Otentisitas Melawan Keterbukaan Data Primer

Prinsip dasar kearsipan adalah menjaga otentisitas arsip. Otentisitas berarti arsip harus terjamin keasliannya, baik dari segi isi, format, maupun struktur metadata. Bagi ANRI, arsip adalah bukti primer yang tidak boleh diubah atau diragukan kebenarannya. Ketika publik meminta salinan data primer, mereka sejatinya menuntut bukti otentik yang tidak terbantahkan.

Namun, memberikan akses atau salinan data primer tidak semudah memfotokopi dokumen biasa. ANRI harus memastikan bahwa setiap proses penyalinan, terutama untuk arsip penting, tidak akan merusak fisik dokumen asli. Proses ini juga harus didasarkan pada peraturan yang menjamin bahwa salinan yang diberikan tetap legal dan otentik.

Dalam kasus sengketa ijazah mantan Presiden, dilema ANRI menjadi sangat tajam. Jika dokumen tersebut dianggap arsip statis yang bernilai guna sejarah, ia seharusnya dapat diakses. Namun, jika ada interpretasi hukum bahwa arsip tersebut masih terkait dengan data pribadi atau perlindungan tertentu, ANRI memiliki dasar untuk membatasi akses penuh, terutama salinan primernya.

Isu data primer adalah inti dari sengketa ini. Data primer berarti salinan yang dibuat langsung dari dokumen aslinya, bukan salinan yang sudah dilegalisir atau dipublikasikan sebelumnya. Permintaan ini menuntut ANRI untuk membuka arsip yang sangat sensitif dan berpotensi memicu perdebatan lebih lanjut di ruang publik.

ANRI juga harus mempertimbangkan risiko politisasi arsip. Ketika arsip dibuka, terutama yang berkaitan dengan tokoh penting, ada kemungkinan arsip tersebut digunakan untuk kepentingan politik tertentu, bukan murni untuk kepentingan penelitian atau sejarah. Ini menjadi pertimbangan ekstra bagi lembaga kearsipan dalam menjaga netralitas dan fungsi dasarnya.

Oleh karena itu, peran ANRI dalam menetapkan status keterbukaan arsip menjadi sangat penting. Pengelompokan arsip statis menjadi kategori "terbuka" atau "terbatas" harus dilakukan berdasarkan kajian hukum dan nilai guna arsip yang kuat. Proses ini harus transparan agar publik mengetahui dasar penolakan atau pembatasan yang dilakukan ANRI.

Jika ANRI berhasil mempertahankan posisinya dengan dasar hukum yang kuat dan transparan, eksistensinya sebagai penentu kebenaran akan semakin kokoh. Sebaliknya, jika prosesnya tertutup atau alasan hukumnya lemah, kepercayaan publik terhadap otentisitas arsip yang dijaga ANRI dapat terkikis.

Sengketa di KIP ini adalah cerminan betapa berharganya arsip di mata publik. Arsip tidak lagi sekadar benda mati di rak, tetapi senjata kebenaran yang dituntut untuk dibuka di era keterbukaan informasi.

Memperkuat Eksistensi melalui Inovasi dan Edukasi

Untuk menjawab tantangan di era keterbukaan, ANRI tidak bisa hanya mengandalkan aturan lama. ANRI harus memperkuat eksistensinya melalui inovasi dan upaya mendekatkan diri kepada masyarakat. Transformasi digital menjadi kunci utama dalam strategi ini.

Salah satu inovasi penting adalah sistem kearsipan digital. Dengan mendigitalisasi arsip statis, ANRI dapat memenuhi tuntutan aksesibilitas tanpa harus mengorbankan kondisi fisik dokumen aslinya. Arsip dapat diakses secara daring oleh peneliti dan publik, mengurangi risiko kerusakan akibat penanganan langsung.

Penerapan teknologi kearsipan modern seperti aplikasi SRIKANDI (Sistem Informasi Kearsipan Dinamis Terintegrasi) juga menunjukkan komitmen ANRI dalam menata arsip pemerintah secara efisien. Kearsipan yang tertib di hulu (arsip dinamis) akan menghasilkan arsip statis yang berkualitas dan mudah dipertanggungjawabkan di kemudian hari.

Selain teknologi, ANRI juga harus fokus pada edukasi publik. Banyak sengketa informasi muncul karena masyarakat belum memahami penuh batasan dan prosedur permintaan arsip. ANRI perlu aktif mensosialisasikan kategori arsip, hak-hak pemohon informasi, dan cara yang benar untuk mengakses data primer.

Eksistensi ANRI akan semakin kokoh jika masyarakat sadar bahwa arsip adalah warisan bersama, bukan hanya milik pemerintah. Program edukasi seperti pameran arsip, lomba kreativitas bertema arsip, dan penggunaan media sosial yang aktif dapat mengubah citra ANRI dari institusi kaku menjadi penjaga memori yang inspiratif.

Kasus sengketa ijazah ini harus menjadi pelajaran berharga. ANRI harus menyiapkan mekanisme respons cepat dan transparan terhadap isu-isu sensitif yang melibatkan arsip penting. Prosedur standar operasional dalam menanggapi permintaan data primer untuk arsip tokoh publik harus dievaluasi dan diperkuat.

Mendekatkan arsip kepada rakyat juga berarti memastikan bahwa khazanah arsip yang tersimpan di ANRI benar-benar mewakili seluruh lapisan masyarakat dan peristiwa sejarah. ANRI harus proaktif dalam mengakuisisi arsip-arsip dari berbagai sumber, termasuk arsip perseorangan yang bernilai sejarah.

Dengan kombinasi inovasi teknologi, transparansi hukum, dan edukasi yang efektif, ANRI dapat membuktikan bahwa eksistensinya tidak hanya sebagai administrator dokumen, tetapi sebagai pilar kebenaran dan otentisitas sejarah bangsa di tengah pusaran informasi yang semakin kompleks.

Kesimpulan

Sengketa informasi publik di KIP mengenai salinan data primer ijazah mantan Presiden Jokowi merupakan ujian serius bagi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dalam menjalankan eksistensinya. Kasus ini mempertanyakan sejauh mana peran ANRI sebagai penentu otentisitas sejarah dapat dipertahankan di era keterbukaan yang menuntut transparansi total. 

ANRI perlu memperkuat landasan hukum dan prosedur permintaan arsip statis, terutama yang sensitif, sembari terus melakukan transformasi digital dan edukasi publik. Hanya dengan mengintegrasikan prinsip perlindungan arsip yang ketat dengan pelayanan akses yang transparan dan akuntabel, ANRI dapat menegaskan kembali posisinya sebagai penjaga kebenaran sejarah dan memori kolektif bangsa yang kredibel.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun