"Gerakan Nasi" ala Prabowonomics adalah sebuah istilah yang disematkan pada visi besar pemerintahan saat ini untuk mencapai swasembada pangan, terutama komoditas beras, dalam jangka waktu yang cepat.Â
Filosofi di baliknya sangat jelas: pangan adalah masalah kedaulatan, bukan sekadar komoditas dagang. Ketergantungan pada impor pangan, khususnya beras, dianggap sebagai risiko keamanan nasional dan kerentanan geopolitik yang harus segera diatasi.
Visi ini berakar pada keyakinan bahwa negara yang besar harus mampu memberi makan rakyatnya sendiri. Hal ini bukan hanya tentang pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi juga tentang mempertahankan martabat bangsa di mata dunia.Â
Oleh karena itu, anggaran besar, kebijakan yang tegas, dan fokus yang terpusat dicurahkan untuk merealisasikan tujuan ini. Swasembada pangan dijadikan salah satu prioritas pembangunan nasional yang paling utama.
"Gerakan Nasi" ini mencakup upaya untuk meningkatkan produksi pangan pokok secara signifikan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.Â
Intensifikasi berarti memaksimalkan hasil panen dari lahan yang sudah ada, misalnya dengan penggunaan benih unggul, pupuk yang tepat, dan teknologi modern.Â
Sementara itu, ekstensifikasi melibatkan pembukaan lahan pertanian baru, terutama melalui program cetak sawah atau pengembangan lahan rawa dan marginal.
Inti dari Prabowonomics di sektor pangan adalah pendekatan yang Top-Down atau dari atas ke bawah, dengan intervensi negara yang kuat. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai aktor utama yang menggerakkan roda produksi.Â
Pemerintah percaya bahwa mekanisme pasar saja tidak cukup untuk menjamin ketersediaan pangan yang stabil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Kebijakan ini juga erat kaitannya dengan modernisasi pertanian. Alat dan mesin pertanian modern seperti traktor, combine harvester, dan sistem irigasi canggih didorong untuk digunakan secara masif.Â