Inovasi ketiga adalah penggunaan Aplikasi Supply Chain dan E-commerce. Gen Z memanfaatkan blockchain dan platform digital untuk memotong rantai pasok yang panjang. Mereka menjual hasil panen langsung ke konsumen atau restoran.
Ini tidak hanya meningkatkan keuntungan petani, tetapi juga mengurangi food loss (makanan terbuang) dan food miles (jarak tempuh makanan), yang berarti emisi karbon dari transportasi pangan berkurang. Ini adalah contoh konkret ekonomi hijau dalam praktik pertanian.
Melalui berbagai inovasi ini, Gen Z membuktikan bahwa teknologi bukan hanya untuk bersosialisasi atau bermain game. Teknologi adalah alat untuk menciptakan sistem pertanian yang lebih pintar, efisien, dan yang paling penting, lebih bertanggung jawab terhadap bumi.
Kedaulatan Pangan Hijau sebagai Tujuan Utama
Semua upaya di atas, mulai dari menarik minat Gen Z hingga penerapan teknologi, memiliki satu tujuan akhir: mencapai Kedaulatan Pangan Hijau.Â
Kedaulatan pangan berarti kemampuan negara untuk memproduksi kebutuhan pangan sendiri, tidak tergantung impor. Kata "Hijau" menunjukkan bahwa produksi tersebut harus dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kedaulatan pangan menjadi krusial di tengah ancaman global. Perubahan iklim menyebabkan gagal panen di berbagai negara.Â
Konflik politik global juga sering mengganggu pasokan dan menaikkan harga pangan. Dengan mandiri, Indonesia dapat melindungi rakyatnya dari gejolak tersebut.
Gen Z berperan dalam menciptakan ketahanan pangan yang resilient (tangguh). Dengan sistem smart farming, mereka dapat memprediksi cuaca ekstrem dan mengatasinya, misalnya dengan menanam varietas yang lebih tahan atau memindahkan tanaman ke greenhouse yang terkontrol.
Kedaulatan Pangan Hijau juga berarti memastikan kualitas pangan yang lebih baik. Pertanian organik, yang lebih mudah dikelola dengan sistem digital yang presisi, menghasilkan produk yang lebih sehat tanpa residu kimia berbahaya. Ini sejalan dengan tuntutan konsumen Gen Z sendiri yang semakin sadar kesehatan.
Namun, ada tantangan besar. Pertama, kesenjangan infrastruktur digital di pedesaan masih besar. Banyak daerah pertanian yang belum terjangkau internet cepat, membuat implementasi sensor dan aplikasi menjadi sulit.