Hari ini, Senin, 29 September 2025, di sebuah ruang kelas yang cerah di SD Plus Al Ghifari Kota Bandung, ada suasana yang sedikit berbeda. Sebagai guru, saya sedang menjalankan tugas rutin, yaitu menyampaikan materi sejarah Indonesia, khususnya mengenai salah satu peristiwa paling kelam dan kontroversial yaitu Gerakan 30 September atau yang sering kita kenal dengan sebutan G30S/PKI.
Cerita itu mengalir perlahan, menjelaskan detail tentang malam berdarah tahun 1965. Saya menjelaskan bagaimana peristiwa ini terjadi hanya dalam satu malam, mulai tanggal 30 September hingga dini hari 1 Oktober. Ini adalah kisah penculikan dan pembunuhan brutal terhadap tujuh perwira terbaik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) di Jakarta.
Saya menyebutkan nama-nama para pahlawan yang gugur: Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo S., dan Lettu Pierre Tendean. Mereka semua gugur dan jenazahnya dibuang di sebuah sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Peristiwa ini, saya jelaskan, telah menjadi babak penting yang mengubah arah sejarah bangsa.
Di tengah penyampaian, saya melihat ada tiga pasang mata dari siswa Kelas 5 yang menatap dengan intensitas berbeda. Mereka bukan sekadar mendengarkan; mereka sedang mencerna, membandingkan, dan yang paling mengejutkan mereka sedang bertanya.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka mengangkat tangan dengan mantap. Pertanyaannya lugas, tanpa basa-basi, dan menyentuh inti dari kontroversi sejarah tersebut. Kemudian disusul oleh dua temannya. Inti pertanyaan mereka sama: "Apakah Gerakan 30 September itu benar-benar apa adanya seperti yang diceritakan di buku, dan apakah peran PKI memang benar-benar ada di belakangnya?"
Pertanyaan ini, yang datang dari anak-anak yang lahir di era digital sering disebut Generasi Alpha membuat saya terdiam sejenak. Ini bukan lagi sekadar menghafal tanggal atau nama, tapi tentang otentisitas dan kebenaran sejarah. Pertanyaan kritis ini menunjukkan bahwa mereka tidak menerima sejarah sebagai dogma, melainkan sebagai bahan untuk dipertanyakan dan dianalisis. Mereka telah membuka sebuah kotak pandora kecil di ruang kelas SD.
Peristiwa G30S/PKI: Narasi Resmi dan Konteks Awal
Agar pertanyaan mereka bisa dijawab dengan landasan yang kuat, saya kembali menjelaskan narasi dasar dari peristiwa tersebut. Peristiwa G30S/PKI adalah puncak dari ketegangan politik yang sudah berlangsung lama di Indonesia.
Narasi resmi menyebutkan bahwa gerakan ini dipicu oleh isu adanya "Dewan Jenderal" di tubuh TNI AD. Dewan ini dituduh akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno yang saat itu sedang sakit.
Gerakan di lapangan dipimpin oleh sekelompok prajurit dari Resimen Tjakrabirawa, yaitu pasukan pengamanan presiden. Mereka bergerak atas informasi dan instruksi yang menyatakan bahwa para jenderal ini perlu "diamankan" dan dihadapkan langsung kepada Presiden Sukarno.
Namun, alih-alih dihadapkan, operasi tersebut berubah menjadi tragedi. Tujuh perwira TNI AD diculik, disiksa, dan akhirnya tewas. Jenazah mereka dimasukkan ke dalam sumur sempit di Lubang Buaya. Ini adalah fakta kekejaman yang tak terbantahkan dan meninggalkan luka mendalam bagi bangsa.