Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pahlawan Tanpa Gaji Layak: Ironi Guru Swasta di Usia Tiga Puluhan

29 September 2025   07:38 Diperbarui: 29 September 2025   07:38 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Realitas Miris Gaji Guru Swasta

Ini adalah kisah yang dialami oleh ribuan guru swasta di Indonesia, sebuah ironi yang menjepit mereka di usia produktif, usia tiga puluhan. Mereka adalah para sarjana pendidikan yang idealis, yang memilih jalan mendidik bukan karena janji kekayaan, melainkan karena panggilan hati. Mereka masuk ke sekolah swasta dengan semangat membara, siap membentuk masa depan bangsa. Namun, realitas di lapangan jauh dari kata ideal.

Gaji yang mereka terima seringkali jauh di bawah upah minimum regional (UMR), bahkan untuk daerah ibu kota sekalipun. Coba bayangkan, setelah kuliah bertahun-tahun, menyandang gelar sarjana, dan menghabiskan waktu serta tenaga untuk mengajar lima hingga enam hari seminggu, gaji bulanan mereka hanya cukup untuk bertahan hidup bukan untuk berkembang. Ini bukan hanya masalah angka, tapi masalah martabat.

Banyak sekolah swasta, terutama yang kecil atau yang berada di pinggiran, mengandalkan dana dari iuran siswa yang pas-pasan. Akibatnya, alokasi untuk gaji guru menjadi sangat minim. Para guru ini sering menerima gaji yang dibayar per jam mengajar, bukan gaji bulanan tetap yang layak. Skema ini membuat pendapatan mereka sangat fluktuatif dan tidak menentu.

Padahal, tanggung jawab mereka sama beratnya dengan guru di sekolah negeri. Mereka mendidik, membimbing, menyiapkan materi, menilai ujian, dan berurusan dengan berbagai masalah siswa. Beban kerja yang tinggi ini tidak sebanding dengan kompensasi finansial yang diterima.

Di usia tiga puluhan, seharusnya mereka sudah mulai menata kehidupan, merencanakan masa depan, mungkin membeli rumah atau menabung untuk pendidikan anak. Namun, dengan gaji yang minim, impian-impian itu terasa sangat jauh. Setiap bulan, mereka bergulat dengan tagihan, biaya hidup yang terus meningkat, dan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi.

Keterbatasan finansial ini memaksa banyak dari mereka untuk mencari pekerjaan sampingan. Ada yang menjadi pengemudi ojek online sepulang sekolah, ada yang berjualan daring, atau memberikan les privat hingga larut malam. Energi yang seharusnya difokuskan untuk meningkatkan kualitas pengajaran, terpaksa terbagi untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Ini menciptakan lingkaran setan. Gaji kecil membuat mereka kurang fokus dan lelah. Kelelahan berdampak pada kualitas mengajar. Kualitas mengajar yang kurang optimal bisa memengaruhi masa depan siswa. Dan yang paling menyakitkan, profesi mulia ini seolah tidak dihargai secara ekonomi.

Ironi ini semakin terasa ketika melihat betapa besarnya peran mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, namun juga pahlawan tanpa gaji layak. Status sebagai guru swasta seringkali juga berarti tidak adanya jaminan kesehatan yang memadai atau dana pensiun yang pasti.

Mereka menyaksikan rekan-rekan mereka yang bekerja di sektor lain, atau bahkan yang berprofesi sebagai guru negeri, memiliki kestabilan finansial yang jauh lebih baik. Perbedaan ini menimbulkan kecemburuan profesional yang sehat, tetapi juga keputusasaan yang mendalam.

Dilema Profesional di Usia Kritis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun