Libur akhir pekan Ahad kemarin begitu menyenangkan bagi saya dan keluarga. Kami kembali ke kampung halaman di Kampung Cicadas, Desa Margaasih, Kabupaten Bandung.Â
Suasana di sana sangat kontras dengan hiruk pikuk kota, jauh dari keramaian dan riak demonstrasi di ibukota.Â
Di sini, yang ada hanyalah ketenangan desa dengan pemandangan hamparan sawah luas yang padinya mulai menguning.Â
Bulir-bulir padi itu tampak berisi, tanda sebentar lagi akan tiba waktu panen, mungkin sekitar satu pekan lagi.
Namun, ada satu hal yang membuat saya penasaran. Meskipun sudah menguning, padi-padi di kampung ini masih terlihat terawat dengan sangat baik.Â
Tidak ada yang rebah, dan bulirnya padat. Rasanya aneh jika tidak ada gangguan hama, apalagi burung pipit yang biasanya menyerang saat padi mulai berbuah.Â
Kebetulan, saya melihat seorang petani bernama Pak Sutarli (48) sedang berada di sawahnya. Tanpa ragu, saya menghampirinya untuk mengobrol.
Sutarli menyambut saya dengan ramah. Saya menanyakan rahasia di balik padi-padinya yang terlihat sehat.Â
Ia tersenyum dan menjelaskan bahwa padi-padi ini terus dirawat dengan baik. Dalam bahasa Sunda, mereka menyebutnya ngariksa pare, yang berarti merawat atau mengontrol padi.Â
Menurutnya, merawat padi adalah bagian tak terpisahkan dari pekerjaan petani, bahkan saat padi sudah menguning.
Ngariksa Pare: Tradisi Turun-Temurun Petani Bandung