Beberapa hari ini, berita di televisi dan media sosial dipenuhi dengan keramaian di ibu kota dan di beberapa daerah lainnya di Indonesia.Â
Gelombang massa dan mahasiswa berunjuk rasa di depan gedung DPR, menyampaikan protes dan aspirasi mereka. Situasi terasa tegang, penuh dengan kekhawatiran dan ketidakpastian.Â
Di tengah hiruk-pikuk itu, saya teringat suasana di kampung halaman saya, sebuah desa kecil bernama Cicadas di Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Di sana, tidak ada demo atau kerusuhan. Yang ada justru kehangatan dan kebersamaan yang nyata, terlihat jelas dari sebuah proyek kecil namun sangat berarti yakni membangun pos ronda.
Proyek ini bermula dari kesadaran bersama warga. Kondisi pos ronda lama sudah lapuk dimakan usia. Atapnya bocor, tiangnya keropos, dan lantainya sudah rusak.Â
Warga merasa sudah saatnya pos ronda baru dibangun, tidak hanya untuk menjaga keamanan, tetapi juga untuk menyatukan kembali kebersamaan yang mungkin sedikit longgar.Â
Malam itu, di sebuah pertemuan kecil, ide ini disambut dengan antusias. Semua sepakat, pos ronda baru harus segera didirikan.
Menyatukan Langkah, Membangun Komitmen
Hari yang ditentukan pun tiba. Pagi-pagi sekali, puluhan warga sudah berkumpul di lahan dekat jalan ukuran sekitar 5x4 meter, tempat pos ronda baru akan didirikan.Â
Ada Pak RT yang sibuk memimpin, Pak RW yang mengawasi, dan para pemuda yang siap dengan cangkul dan linggis. Tidak ada yang datang dengan tangan kosong.Â
Beberapa membawa palu, gergaji, atau paku dari rumah. Ada yang membawa beberapa lembar seng/asbes, karung semen, atau potongan kayu, bambu. Semua diberikan dengan sukarela, tanpa paksaan.