Tahun ini, Indonesia merayakan 80 tahun kemerdekaannya. Angka yang besar, sebuah penanda panjangnya perjalanan bangsa. Bendera Merah Putih berkibar di setiap sudut negeri, lagu-lagu kebangsaan menggema, dan berbagai acara peringatan digelar dengan penuh suka cita.Â
Namun, di tengah euforia kemerdekaan ini, ada sebuah ironi yang begitu menyakitkan. Kemerdekaan yang kita banggakan terasa hambar bagi sebagian anak bangsa. Mereka adalah para pekerja migran, pahlawan devisa yang justru dirampas hak-haknya di negeri orang.
Di balik janji manis tentang masa depan yang lebih baik, banyak dari mereka yang justru terjebak dalam perlakuan tidak manusiawi. Gambaran yang saya saksikan di televisi pagi ini menjadi bukti nyata.Â
Seorang wanita, pekerja migran Indonesia di Malaysia, tampak sangat kelelahan. Matanya sayu, kepalanya terkulai menahan kantuk. Ia terus bekerja, seolah tak ada waktu untuk beristirahat.Â
Beban kerjanya berlebihan, jam kerjanya tidak wajar, sementara hak-haknya sebagai manusia dan pekerja justru dikurangi, bahkan dihilangkan. Gaji yang seharusnya menjadi haknya seringkali ditahan dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal. Ini adalah bentuk perbudakan modern yang terjadi di era kemerdekaan.
Pekerja migran ini bukan hanya sekadar nama, melainkan sosok manusia dengan harapan dan impian. Mereka meninggalkan keluarga, meninggalkan tanah air, demi mencari penghidupan yang lebih layak. Mereka rela menanggung rindu, kesepian, bahkan risiko besar.Â
Namun, apa yang mereka dapatkan? Kemerdekaan yang mereka cari di negeri orang justru berubah menjadi penjajahan baru yang jauh lebih kejam. Mereka dijajah oleh majikan yang sewenang-wenang, dijajah oleh sistem yang abai, dan dijajah oleh ketidakadilan yang merajalela.
Perlakuan Tidak Manusiawi: Kisah Nyata di Tanah Rantau
Kisah pekerja migran yang saya lihat di televisi hanyalah satu dari ribuan kasus serupa yang tidak terekspos. Banyak dari mereka yang harus menghadapi perlakuan tak manusiawi setiap hari.Â
Mereka dipaksa bekerja tanpa henti, dari subuh hingga larut malam. Tidak ada hari libur, tidak ada waktu istirahat yang cukup. Bahkan, waktu untuk makan dan beribadah pun seringkali dibatasi.
Bukan hanya itu, pelecehan verbal dan fisik juga menjadi ancaman nyata yang harus mereka hadapi. Ada yang disiksa, dipukul, bahkan ada yang mengalami kekerasan seksual. Semua ini dilakukan oleh majikan mereka, orang yang seharusnya melindungi dan memberikan hak-hak mereka.Â