Oknum tahu bahwa PKL cenderung menghindari konflik agar bisa terus berdagang. Modal yang mereka punya juga pas-pasan, sehingga setiap rupiah yang keluar untuk pungli sangat terasa dampaknya.
Kios Pinggir Jalan: Mirip dengan PKL, kios pinggir jalan juga rentan. Meskipun mungkin punya bangunan permanen atau semi-permanen, mereka tetap sangat tergantung pada izin lingkungan dan ketenangan usaha.Â
Oknum bisa datang dan "menagih" dengan alasan yang sama seperti PKL, mengancam akan mempersulit izin atau membuat keributan di depan kios.
Pemilik kios ini biasanya juga punya tanggungan ekonomi keluarga yang besar. Setiap kerugian, sekecil apapun, bisa berpengaruh pada kelangsungan hidup mereka.Â
Mereka cenderung menghindari masalah agar tidak mengganggu operasional usaha. Pungli ini ibarat pajak tak resmi yang harus mereka bayar di luar pajak dan retribusi yang memang sudah diatur pemerintah.
Warga Pengontrak/Pendatang: Warga yang mengontrak rumah atau kos seringkali juga menjadi sasaran. Status mereka sebagai "pendatang" membuat mereka merasa tidak punya banyak pilihan selain mengikuti aturan yang ada di lingkungan tersebut.Â
Mereka tidak ingin dicap sebagai warga yang "tidak peduli" atau "tidak partisipatif." Apalagi jika mereka berencana untuk tinggal lama di daerah tersebut.
Ketakutan akan dikucilkan dari lingkungan atau dipersulit dalam urusan administrasi kependudukan menjadi alasan utama mereka menyerah pada pungli. Mereka biasanya tidak tahu hak-hak mereka atau ke mana harus melapor jika ada pungli.Â
Mereka hanya ingin hidup tenang dan menghindari masalah dengan tetangga atau pengurus lingkungan. Rasa tidak enak seringkali mengalahkan rasa keberatan.
Mereka juga seringkali merasa tidak punya banyak hak untuk menolak karena tidak memiliki properti di lingkungan tersebut. Ini adalah celah yang sering dimanfaatkan oleh oknum.Â
Mereka tahu bahwa warga kontrakan ingin menjaga hubungan baik dengan pemilik kontrakan dan lingkungan sekitar, agar tidak ada masalah selama masa sewa.