Ini menjadi tanda tanya besar, ke mana sebenarnya uang sumbangan itu akan digunakan? Apakah benar-benar untuk memeriahkan acara, atau justru masuk ke kantong pribadi oknum. Ini adalah celah yang sering dimanfaatkan untuk pungli.
Bahkan, terkadang sumbangan itu diminta dengan alasan yang sangat umum, seperti untuk keamanan lingkungan atau kebersihan.Â
Padahal, urusan keamanan dan kebersihan seharusnya sudah ada alokasi dan mekanisme iuran yang jelas. Jadi, ketika ada permintaan tambahan di luar itu, apalagi dengan nominal yang ditentukan, patut dicurigai sebagai pungli.
Keberanian oknum pungli ini juga didukung oleh minimnya laporan dari korban. Banyak yang memilih diam karena takut akan dampak yang lebih buruk. Mereka takut usaha mereka diganggu, atau mereka dikucilkan dari lingkungan sosial.Â
Rasa takut ini yang membuat praktik pungli terus subur setiap tahun menjelang 17 Agustus. Ini adalah lingkaran setan yang sulit diputus tanpa keberanian dari korban dan dukungan dari pihak berwenang.
Melihat kondisi ini, penting bagi masyarakat untuk lebih berani. Keberanian menolak, keberanian melaporkan, adalah kunci untuk menghentikan praktik pungli ini.Â
Jika terus dibiarkan, maka semangat kemerdekaan yang seharusnya dirayakan dengan sukacita, justru akan dicederai oleh praktik-praktik pemerasan seperti ini. Masyarakat harus sadar bahwa mereka punya hak untuk menolak.
Siapa yang Paling Rentan?
Pedagang Kaki Lima (PKL): Kelompok ini adalah sasaran utama. Mereka beroperasi di ruang publik dan sering dianggap tidak punya "payung hukum" yang kuat.Â
Jika mereka menolak sumbangan, ancaman yang paling umum adalah pembongkaran lapak, larangan berdagang, atau pengusiran dari lokasi. Ancaman ini sangat efektif karena PKL sangat bergantung pada lokasi usahanya untuk mencari nafkah. Mereka hidup dari hasil jualan harian.
Mereka juga seringkali tidak punya ikatan sosial yang kuat dengan "lingkungan" formal (RT/RW setempat) jika mereka bukan warga asli. Hal ini membuat mereka lebih mudah diintimidasi.Â