Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Surplus Beras Membludak, Kok Masih Ada yang Lapar? Menguak Ironi Pangan Negeri

26 Juni 2025   13:15 Diperbarui: 27 Juni 2025   08:52 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Petani memanen padi di Gunungguruh, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. | ANTARA FOTO/Henry Purba via Kompas.com

Indonesia, negeri yang subur, dianugerahi tanah yang luas dan iklim yang mendukung pertanian. Sejak dulu, kita dikenal sebagai negara agraris, penghasil beragam komoditas pangan. Beras, khususnya, adalah makanan pokok bagi sebagian besar penduduknya. Setiap tahun, para petani kita bekerja keras, membajak sawah, menanam bibit, merawat tanaman, hingga tiba masa panen. Hasilnya seringkali berlimpah, bahkan kerap kali disebut surplus beras.

Namun, di balik kabar gembira tentang panen raya dan angka surplus yang mengagumkan, tersembunyi sebuah pertanyaan besar yang mengganjal: mengapa masih ada saudara-saudara kita yang harus tidur dengan perut kosong? Mengapa di tengah tumpukan karung beras di gudang, kelaparan masih menjadi cerita nyata bagi sebagian masyarakat? Ini adalah sebuah ironi yang sulit dicerna, sebuah paradoks yang perlu kita bedah bersama.

Kita sering mendengar berita tentang produksi beras yang melebihi kebutuhan. Kementerian Pertanian atau Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data yang menunjukkan stok beras nasional aman, bahkan berlebih. Angka-angka ini tentu melegakan. Ini berarti kita tidak perlu khawatir kekurangan beras untuk memenuhi kebutuhan harian. Kita tidak perlu mengimpor terlalu banyak, yang bisa membebani kas negara.

Tapi kenyataannya, data makro ini tidak selalu sejalan dengan kondisi mikro di lapangan. Di sudut-sudut desa terpencil, di perkotaan yang padat, atau di daerah-daerah yang rawan bencana, cerita tentang kekurangan pangan masih kerap terdengar. Ada keluarga yang hanya makan singkong, sagu, atau ubi karena tidak mampu membeli beras. Ada anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena orang tuanya sibuk mencari sesuap nasi.

Masalahnya bukan terletak pada kurangnya produksi beras secara keseluruhan. Bukan berarti petani kita gagal panen atau tanah kita tidak subur lagi. Masalahnya lebih kompleks, melibatkan banyak faktor yang saling terkait. Ini bukan hanya soal ketersediaan, tetapi juga soal akses, distribusi, dan harga.

Salah satu penyebab utama adalah distribusi yang belum merata. Beras yang dipanen di satu daerah mungkin melimpah, tetapi kesulitan logistik membuat beras itu sulit sampai ke daerah lain yang membutuhkan. Jalanan rusak, biaya transportasi mahal, atau bahkan praktik penimbunan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, bisa menjadi penghambat.

Bayangkan saja, beras dari sentra produksi di Jawa Timur atau Sulawesi Selatan harus menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk sampai ke pelosok Papua atau Kalimantan Utara. Biaya pengiriman tentu tidak sedikit. Ini membuat harga beras di daerah terpencil menjadi sangat tinggi, jauh di luar jangkauan masyarakat miskin.

Lalu, ada masalah daya beli. Sekalipun beras tersedia di pasar atau di toko, apakah semua orang mampu membelinya? Bagi keluarga yang hidup pas-pasan, kenaikan harga beras sedikit saja bisa berarti pilihan antara membeli beras atau memenuhi kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan anak atau obat-obatan. Gaji yang kecil atau tidak adanya pekerjaan tetap, membuat mereka rentan terhadap gejolak harga pangan.

Pemerintah memang punya program bantuan sosial, seperti bantuan pangan non-tunai (BPNT) atau beras sejahtera (rastra) dulunya. Program-program ini bertujuan membantu masyarakat miskin mendapatkan akses pangan. Namun, pelaksanaannya tidak selalu mulus. Ada saja masalah data penerima yang tidak akurat, bantuan yang terlambat, atau bahkan penyaluran yang tidak tepat sasaran.

Kita juga perlu melihat sisi lain dari rantai pasok pangan. Dari petani sampai ke konsumen, ada banyak pihak yang terlibat. Petani seringkali berjuang sendiri. Harga jual gabah atau beras dari petani seringkali rendah, tidak sebanding dengan jerih payah dan biaya produksi mereka. Ini membuat petani enggan meningkatkan produksi atau malah beralih menanam komoditas lain.

Di sisi lain, harga di tingkat konsumen bisa melambung tinggi. Ada mata rantai distribusi yang panjang, di mana setiap perantara mengambil keuntungan. Petani menjual dengan harga murah, tengkulak membeli, lalu dijual ke pedagang besar, kemudian ke agen, lalu ke pengecer, hingga akhirnya sampai di tangan kita. Semakin panjang mata rantainya, semakin tinggi pula harga akhirnya.

Belum lagi masalah informasi dan koordinasi. Terkadang, kita melihat pemerintah daerah satu mengklaim surplus, sementara daerah lain justru kesulitan pangan. Komunikasi dan koordinasi antar instansi dan antar daerah perlu ditingkatkan agar distribusi pangan bisa lebih efisien dan tepat sasaran. Data produksi dan kebutuhan harus akurat agar kebijakan yang diambil bisa efektif.

Aspek penyimpanan dan pengolahan juga penting. Beras yang melimpah harus disimpan dengan baik agar tidak rusak atau busuk. Gudang yang memadai, teknologi penyimpanan yang baik, dan manajemen stok yang cermat, sangat diperlukan. Jika beras busuk atau rusak di gudang karena penyimpanan yang buruk, maka surplus itu menjadi tidak berguna.

Selain itu, kebijakan pangan kita juga perlu ditinjau ulang. Apakah fokus kita hanya pada peningkatan produksi semata? Atau apakah kita juga harus memastikan bahwa beras yang melimpah itu benar-benar bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat, terutama yang paling membutuhkan? Kebijakan harus holistik, tidak hanya berorientasi pada angka produksi.

Perubahan iklim juga membawa tantangan baru. Musim kemarau yang panjang atau banjir yang tidak terduga bisa merusak lahan pertanian dan mengganggu panen. Ini berarti, surplus yang kita miliki saat ini tidak menjamin surplus di masa depan. Kita harus punya strategi mitigasi dan adaptasi yang kuat untuk menghadapi ancaman ini.

Ironi ini mengajarkan kita bahwa ketersediaan beras saja tidak cukup untuk menjamin ketahanan pangan. Ketahanan pangan berarti setiap orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan diet dan preferensi pangan mereka demi kehidupan yang aktif dan sehat.

Ini berarti, kita tidak bisa hanya berbangga dengan angka surplus. Kita harus memastikan bahwa surplus itu sampai ke meja makan setiap keluarga Indonesia. Kita harus memastikan bahwa harga beras terjangkau bagi semua. Kita harus memastikan bahwa petani mendapatkan harga yang layak.

Solusi untuk mengatasi ironi ini tidak sederhana. Butuh kerja sama dari berbagai pihak. Pemerintah perlu memperkuat infrastruktur jalan dan transportasi, agar distribusi pangan lebih lancar. Pemerintah juga harus memastikan bahwa bantuan pangan sampai ke tangan yang berhak, dengan data yang akurat dan penyaluran yang transparan.

Petani perlu diberdayakan. Mereka harus mendapatkan akses ke modal, teknologi, dan informasi pasar yang lebih baik. Harga beli gabah atau beras dari petani juga harus dijaga agar mereka termotivasi untuk terus berproduksi. Koperasi petani bisa menjadi salah satu solusi untuk memotong mata rantai distribusi yang panjang.

Masyarakat juga bisa berperan. Dengan mendukung produk lokal, membeli langsung dari petani jika memungkinkan, atau terlibat dalam program-program pangan lokal. Kesadaran akan pentingnya ketahanan pangan keluarga juga harus ditingkatkan, misalnya dengan mendorong pertanian di pekarangan rumah.

Pendidikan tentang gizi dan pola makan sehat juga penting. Terkadang, masalah kelaparan atau gizi buruk bukan hanya karena tidak ada makanan, tetapi juga karena kurangnya pengetahuan tentang makanan bergizi yang murah dan mudah didapat. Diversifikasi pangan, tidak hanya bergantung pada beras, juga bisa menjadi solusi.

Pada akhirnya, surplus beras yang membludak seharusnya menjadi kabar baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, jika di saat yang sama masih ada saudara sebangsa yang kelaparan, itu adalah tamparan keras bagi kita semua. Ini berarti ada yang salah dalam sistem kita.

Menguak ironi pangan negeri ini adalah langkah pertama untuk memperbaikinya. Kita harus berani melihat kenyataan pahit ini, mencari akar masalahnya, dan bekerja bersama untuk menemukan solusi yang berkelanjutan. Tujuannya sederhana: tidak ada lagi perut yang kosong di negeri yang kaya raya ini.

Mari kita jadikan surplus beras bukan hanya sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari kesejahteraan dan ketahanan pangan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab kita bersama sebagai sebuah bangsa. Waktunya untuk bertindak, agar ironi ini tidak lagi menjadi bagian dari cerita kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun