Mereka semua memiliki satu kesamaan: keinginan kuat untuk berjuang dan mandiri secara ekonomi.
Mereka tidak menunggu pekerjaan datang, melainkan menciptakan pekerjaan itu sendiri. Dengan modal seadanya dan keahlian yang dimiliki, mereka mengubah minat atau keterampilan memasak menjadi sumber penghasilan.Â
Misalnya, ada ibu-ibu yang memang pandai membuat kue, lalu ia memutuskan untuk menjual kue-kue buatannya. Ada juga yang suka meracik minuman segar, dan kini ia berjualan minuman dingin.
Keputusan untuk membuka usaha, sekecil apapun, adalah langkah yang berani. Apalagi di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu.Â
Ada banyak risiko yang harus dihadapi, mulai dari modal yang terbatas, persaingan yang ketat, hingga omset yang tidak stabil. Namun, mereka tidak gentar.
Mereka percaya bahwa setiap usaha, sekecil apapun, pasti akan membuahkan hasil jika ditekuni dengan sungguh-sungguh.Â
Mereka belajar bagaimana mengelola keuangan, bagaimana melayani pelanggan, dan bagaimana menghadapi pasang surut dalam berdagang. Ini adalah sekolah kehidupan yang berharga.
Pemerintah memang berupaya menciptakan lapangan kerja, tapi jumlahnya tidak sebanding dengan angka pencari kerja. Oleh karena itu, inisiatif dari masyarakat untuk menciptakan lapangan kerja sendiri melalui usaha-usaha mikro sangat penting.Â
Mereka bukan hanya menolong diri sendiri dan keluarga, tetapi juga berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja informal.
Keberadaan para pedagang kaki lima dan jongko jualan ini memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar. Mereka menyediakan berbagai pilihan makanan dan minuman dengan harga terjangkau bagi masyarakat.Â
Lingkungan sekitar Al Ghifari menjadi lebih hidup dan ramai dengan adanya aktivitas jual beli ini.