Lalu, bagaimana nasib mereka di tengah "gempita" Hari Buruh? Meskipun perjuangan mereka kurang terorganisir dalam bentuk unjuk rasa besar, isu-isu yang dihadapi buruh informal perlahan mulai masuk dalam agenda beberapa gerakan buruh dan organisasi masyarakat sipil. Ada upaya-upaya untuk mengadvokasi kebijakan yang lebih inklusif, mendorong pendaftaran buruh informal ke dalam skema jaminan sosial mandiri, atau memfasilitasi pembentukan komunitas/kelompok buruh informal untuk saling mendukung.
Namun, tantangannya sangat besar. Keragaman jenis pekerjaan dan lokasi "buruh 'Non Lamaran Kerja'" membuat pengorganisasian menjadi sulit. Masing-masing kelompok mungkin memiliki isu spesifik yang berbeda. Selain itu, kesadaran akan pentingnya bersatu dan bersuara pun masih perlu ditingkatkan di antara mereka sendiri.
Oleh karena itu, Hari Buruh 1 Mei seharusnya menjadi momentum krusial, bukan hanya untuk merayakan perjuangan buruh formal, tetapi juga untuk secara serius mengangkat dan mencari solusi bagi nasib "buruh 'Non Lamaran Kerja'". Gempita Hari Buruh harus meluas, mencakup pengakuan, apresiasi, dan komitmen nyata untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan bagi mereka yang bekerja di sektor informal.
Ini membutuhkan peran aktif dari semua pihak. Pemerintah perlu memperluas cakupan program jaminan sosial dengan skema yang terjangkau dan mudah diakses oleh buruh informal, serta menciptakan kebijakan yang mendukung transisi menuju formalitas secara bertahap tanpa mematikan usaha kecil mereka. Regulasi yang lebih melindungi pekerja di sektor informal tertentu, seperti pekerja rumah tangga, juga mendesak.
Serikat buruh formal dapat memainkan peran solidaritas dengan mengadvokasi isu-isu buruh informal di tingkat kebijakan, menggunakan platform Hari Buruh untuk menyuarakan nasib mereka, dan berbagi pengalaman dalam berorganisasi. Masyarakat sipil dan akademisi bisa berkontribusi dalam riset, advokasi, dan pendampingan komunitas buruh informal.
Pengusaha, termasuk mereka yang menggunakan jasa pekerja informal, perlu meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab sosial mereka untuk menyediakan upah yang layak dan lingkungan kerja yang aman, meskipun dalam kerangka informal atau semi-formal. Konsumen pun dapat berperan dengan mendukung usaha-usaha kecil yang memperlakukan pekerjanya dengan adil.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang nasib "buruh 'Non Lamaran Kerja'" di Hari Buruh adalah cerminan dari tantangan keadilan sosial yang lebih luas. Ekonomi bangsa tidak akan benar-benar kuat dan sejahtera jika sebagian besar angkatan kerjanya hidup dalam ketidakpastian dan tanpa perlindungan memadai. May Day harus menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk hak-hak buruh belum selesai, dan perjuangan ini tidak lengkap tanpa menyertakan mereka yang bekerja di luar sistem formal.
Semoga di masa mendatang, "gempita" Hari Buruh tidak hanya milik buruh formal, tetapi juga menjadi hari di mana suara dan perjuangan "buruh 'Non Lamaran Kerja'" se-Indonesia terdengar nyaring, mendapat perhatian serius, dan menghasilkan langkah-langkah konkret menuju kehidupan yang lebih baik, adil, dan bermartabat bagi mereka semua. Ini adalah harapan dan cita-cita besar yang harus terus diperjuangkan di setiap peringatan Hari Buruh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI