Dampak langsung dari dilema ini mulai terasa. Beberapa perajin terpaksa mengurangi volume produksi karena keterbatasan modal untuk membeli kelapa dengan harga tinggi. Ada pula yang mencoba menaikkan harga jual secara bertahap, namun mendapati omzet mereka menurun drastis.Â
Situasi ini tidak hanya mengancam kelangsungan usaha perajin secara individual, tetapi juga memengaruhi ekosistem ekonomi lokal di Cililin dan Ciamis yang bertumpu pada aktivitas produksi dan perdagangan wajit serta galendo. Beban ekonomi ini nyata dan mendesak, memaksa perajin untuk berpikir keras mencari jalan keluar agar manisnya usaha mereka tidak benar-benar menjadi pahit.
Menghadapi Tantangan Lapangan: Kualitas Produk, Dinamika Pasar, dan Kelangsungan Usaha Mikro
Menghadapi kenaikan biaya produksi yang mencekik, para perajin Wajit Cililin dan Galendo Ciamis tak hanya berhitung rugi laba di atas kertas, namun juga dihadapkan pada tantangan yang lebih substansial di lapangan. Tekanan harga kelapa yang meroket menciptakan godaan besar, bahkan keharusan, untuk meninjau kembali resep dan proses produksi yang telah diwariskan turun-temurun.Â
Untuk sekadar bertahan tanpa menaikkan harga secara drastis, ada risiko perajin tergoda mengurangi takaran kelapa atau menggantinya dengan bahan lain yang lebih murah. Langkah ini, jika diambil, akan secara langsung menggerus kualitas otentik dan cita rasa khas Wajit yang legit legit atau Galendo yang renyah gurih, menghilangkan keunikan yang selama ini menjadi daya tarik utama produk mereka.
Ancaman terhadap kualitas ini kemudian berdampak langsung pada dinamika pasar. Konsumen Wajit dan Galendo, yang telah terbiasa dengan standar rasa tertentu, mungkin akan merasakan perbedaannya. Jika harga jual dinaikkan sesuai dengan kenaikan biaya bahan baku, perajin berhadapan dengan resistensi pasar, konsumen bisa beralih ke camilan lain yang dirasa lebih terjangkau atau menganggap harga Wajit/Galendo menjadi tidak masuk akal.Â
Di sisi lain, jika harga tidak dinaikkan atau kenaikannya tidak signifikan, margin keuntungan akan semakin menipis, bahkan bisa mencapai titik impas atau merugi, yang pada akhirnya mengancam kelangsungan operasi bisnis mereka di tengah persaingan pasar yang memang sudah ketat.
Situasi ini kian diperparah oleh fakta bahwa mayoritas pelaku usaha Wajit Cililin dan Galendo Ciamis adalah unit usaha mikro dan kecil. Mereka umumnya memiliki modal kerja yang terbatas, akses permodalan yang sulit, serta daya tawar (bargaining power) yang lemah di hadapan pemasok kelapa atau pedagang besar.Â
Ketika goncangan harga bahan baku terjadi sedrastis ini, mereka tidak memiliki bantalan finansial yang cukup untuk menyerap biaya tambahan dalam jangka waktu lama. Kelangsungan usaha mereka menjadi sangat rentan, dan risiko gulung tikar membayangi, mengancam bukan hanya hilangnya warisan kuliner, tetapi juga mata pencaharian banyak keluarga yang bergantung pada produksi Wajit dan Galendo.
Jalan Menuju Kebangkitan: Potensi Inovasi, Kekuatan Kolaborasi, dan Peran Para Pihak
Langkah pertama dalam perjalanan menuju kebangkitan bagi perajin Wajit Cililin dan Galendo Ciamis tak lain adalah menggali potensi inovasi dari dalam. Menghadapi kelapa yang mahal, para perajin dituntut untuk berpikir lebih cerdas dan efisien dalam setiap tahap produksi.Â