Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Harga Kelapa Meroket: Manisnya Wajit Cililin dan Galendo Ciamis Terancam Pahit, Bangkit?

29 April 2025   09:42 Diperbarui: 29 April 2025   09:42 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Buah kelapa. | Pexels.com/Zbigniew Bielecki

Indonesia kaya akan warisan kuliner tradisional yang melekat erat dengan identitas daerahnya. Dua di antaranya yang sangat ikonik dari Jawa Barat adalah Wajit Cililin dan Galendo Ciamis. Wajit, dengan teksturnya yang legit dan rasa manis gula kelapa yang khas, telah lama menjadi oleh-oleh wajib dari kawasan Kabupaten Bandung Barat, khususnya Cililin. 

Tak kalah populer, Galendo dari Ciamis menawarkan sensasi renyah manis gurih yang unik, dihasilkan dari sari kelapa tua yang diolah sedemikian rupa. Keduanya bukan sekadar camilan, melainkan representasi kekayaan lokal dan penopang ekonomi bagi banyak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di wilayah masing-masing.

Namun, di balik manisnya cita rasa dan pentingnya peran ekonomi kedua kudapan ini, kini muncul ancaman serius dari arah yang tak terduga, lonjakan harga bahan baku utamanya, yaitu kelapa. Jika tahun lalu harga satu butir kelapa di tingkat petani atau pengepul masih berkisar Rp 3.000, kini angkanya sudah melonjak drastis. 

Harga kelapa sempat menyentuh puncak yang mengejutkan hingga Rp 13.000 per butir, dan saat ini pun masih bertahan di kisaran tinggi, mencapai Rp 10.000. Fenomena kenaikan harga kelapa ini tidak hanya terjadi di Ciamis atau Bandung, melainkan meroket secara merata di banyak daerah lain di seluruh Indonesia, menciptakan tekanan luar biasa pada industri yang sangat bergantung padanya.

Kenaikan harga kelapa yang signifikan dan masif ini secara langsung menerjemahkan "Manisnya Wajit Cililin dan Galendo Ciamis Terancam Pahit". Biaya produksi melonjak berkali-kali lipat, memaksa para perajin menghadapi dilema sulit, menaikkan harga jual yang berisiko menurunkan daya beli konsumen, mempertahankan harga jual dengan mengorbankan margin keuntungan atau bahkan kualitas, atau terpaksa mengurangi produksi bahkan gulung tikar. 

Ancaman kepahitan ekonomi ini nyata di depan mata para pelaku usaha tradisional ini. Di tengah situasi genting ini, muncul pertanyaan krusial: Bisakah Wajit Cililin dan Galendo Ciamis, serta para perajinnya, Bangkit?

Mengukur Dampak Ekonomi: Beban Biaya Produksi dan Dilema Penentuan Harga Jual

Lonjakan harga kelapa yang ekstrem ini sontak membalikkan perhitungan ekonomi yang selama ini menjadi patokan para perajin. Bayangkan, bahan baku utama yang sebelumnya berkontribusi hanya Rp 3.000 per butir, kini melonjak menjadi tiga hingga empat kali lipatnya. Untuk memproduksi satu kuali besar wajit atau satu batch galendo, diperlukan puluhan hingga ratusan butir kelapa, tergantung skala produksi. 

Artinya, biaya untuk sekadar mendapatkan bahan baku dasar kini membengkak secara eksponensial, menggerogoti porsi terbesar dari total biaya produksi, jauh melampaui komponen lain seperti gula, tenaga kerja, atau pengemasan. Margin keuntungan yang sebelumnya tipis pun kini nyaris tak bersisa, bahkan banyak yang terancam merugi di setiap produksi.

Menghadapi kenyataan pahit ini, para perajin dihadapkan pada dilema penentuan harga jual yang pelik. Menaikkan harga produk jadi, baik wajit maupun galendo, adalah langkah logis untuk menutupi kenaikan biaya bahan baku. Namun, pasar kudapan tradisional seperti ini sangat sensitif terhadap harga. 

Kenaikan harga jual yang signifikan berisiko membuat produk mereka kalah bersaing atau tidak lagi terjangkau oleh konsumen setia, yang mungkin beralih ke camilan lain yang lebih murah. Di sisi lain, jika mereka menahan harga jual atau hanya menaikkan sedikit, profit margin akan tergerus habis, membuat roda usaha sulit berputar dan menabung untuk modal kerja berikutnya menjadi mustahil.

Dampak langsung dari dilema ini mulai terasa. Beberapa perajin terpaksa mengurangi volume produksi karena keterbatasan modal untuk membeli kelapa dengan harga tinggi. Ada pula yang mencoba menaikkan harga jual secara bertahap, namun mendapati omzet mereka menurun drastis. 

Situasi ini tidak hanya mengancam kelangsungan usaha perajin secara individual, tetapi juga memengaruhi ekosistem ekonomi lokal di Cililin dan Ciamis yang bertumpu pada aktivitas produksi dan perdagangan wajit serta galendo. Beban ekonomi ini nyata dan mendesak, memaksa perajin untuk berpikir keras mencari jalan keluar agar manisnya usaha mereka tidak benar-benar menjadi pahit.

Menghadapi Tantangan Lapangan: Kualitas Produk, Dinamika Pasar, dan Kelangsungan Usaha Mikro

Menghadapi kenaikan biaya produksi yang mencekik, para perajin Wajit Cililin dan Galendo Ciamis tak hanya berhitung rugi laba di atas kertas, namun juga dihadapkan pada tantangan yang lebih substansial di lapangan. Tekanan harga kelapa yang meroket menciptakan godaan besar, bahkan keharusan, untuk meninjau kembali resep dan proses produksi yang telah diwariskan turun-temurun. 

Untuk sekadar bertahan tanpa menaikkan harga secara drastis, ada risiko perajin tergoda mengurangi takaran kelapa atau menggantinya dengan bahan lain yang lebih murah. Langkah ini, jika diambil, akan secara langsung menggerus kualitas otentik dan cita rasa khas Wajit yang legit legit atau Galendo yang renyah gurih, menghilangkan keunikan yang selama ini menjadi daya tarik utama produk mereka.

Ancaman terhadap kualitas ini kemudian berdampak langsung pada dinamika pasar. Konsumen Wajit dan Galendo, yang telah terbiasa dengan standar rasa tertentu, mungkin akan merasakan perbedaannya. Jika harga jual dinaikkan sesuai dengan kenaikan biaya bahan baku, perajin berhadapan dengan resistensi pasar, konsumen bisa beralih ke camilan lain yang dirasa lebih terjangkau atau menganggap harga Wajit/Galendo menjadi tidak masuk akal. 

Di sisi lain, jika harga tidak dinaikkan atau kenaikannya tidak signifikan, margin keuntungan akan semakin menipis, bahkan bisa mencapai titik impas atau merugi, yang pada akhirnya mengancam kelangsungan operasi bisnis mereka di tengah persaingan pasar yang memang sudah ketat.

Situasi ini kian diperparah oleh fakta bahwa mayoritas pelaku usaha Wajit Cililin dan Galendo Ciamis adalah unit usaha mikro dan kecil. Mereka umumnya memiliki modal kerja yang terbatas, akses permodalan yang sulit, serta daya tawar (bargaining power) yang lemah di hadapan pemasok kelapa atau pedagang besar. 

Ketika goncangan harga bahan baku terjadi sedrastis ini, mereka tidak memiliki bantalan finansial yang cukup untuk menyerap biaya tambahan dalam jangka waktu lama. Kelangsungan usaha mereka menjadi sangat rentan, dan risiko gulung tikar membayangi, mengancam bukan hanya hilangnya warisan kuliner, tetapi juga mata pencaharian banyak keluarga yang bergantung pada produksi Wajit dan Galendo.

Jalan Menuju Kebangkitan: Potensi Inovasi, Kekuatan Kolaborasi, dan Peran Para Pihak

Langkah pertama dalam perjalanan menuju kebangkitan bagi perajin Wajit Cililin dan Galendo Ciamis tak lain adalah menggali potensi inovasi dari dalam. Menghadapi kelapa yang mahal, para perajin dituntut untuk berpikir lebih cerdas dan efisien dalam setiap tahap produksi. 

Inovasi bisa berarti mengoptimalkan penggunaan setiap bagian kelapa, mencari metode pengolahan yang mengurangi limbah, atau bahkan bereksperimen (dengan sangat hati-hati agar tidak mengorbankan cita rasa otentik) dengan proporsi bahan baku lain atau mencari sumber kelapa dari varietas tertentu yang mungkin lebih efisien atau memiliki harga yang sedikit lebih stabil. 

Inovasi juga mencakup efisiensi energi dalam proses pemasakan yang memakan waktu lama, atau pengemasan yang lebih menarik namun tetap ekonomis untuk meningkatkan nilai jual di mata konsumen, meskipun harga bahan baku inti meningkat. Ini adalah momentum bagi kreativitas lokal untuk bersinar di tengah tekanan.

Selain upaya mandiri melalui inovasi internal, kekuatan kolektif melalui kolaborasi antar sesama perajin menjadi sangat vital sebagai tumpuan kedua menuju kebangkitan. Para perajin Wajit di Cililin dapat bersatu, demikian pula perajin Galendo di Ciamis, atau bahkan menjalin sinergi lintas produk. 

Dengan bersatu dalam asosiasi atau koperasi, mereka memiliki kekuatan tawar yang jauh lebih besar dalam pembelian bahan baku kelapa secara grosir langsung dari petani atau distributor besar, berpotensi mendapatkan harga yang sedikit lebih baik atau pasokan yang lebih stabil dibandingkan pembelian individual. 

Kolaborasi juga membuka ruang untuk berbagi pengetahuan tentang praktik produksi terbaik, strategi pemasaran bersama untuk menjangkau pasar yang lebih luas, atau bahkan lobi bersama kepada pemerintah daerah terkait kebijakan yang pro-UMKM di masa krisis harga bahan baku. Kebersamaan bisa menjadi perisai di tengah badai.

Namun, perjuangan perajin Wajit dan Galendo tidak bisa dipikul sendiri. Kebangkitan sejati mereka akan sangat bergantung pada ekosistem pendukung, di mana berbagai pihak memiliki peran krusial. 

Pemerintah daerah, baik Kabupaten Bandung Barat maupun Ciamis, memiliki kewenangan untuk memberikan insentif, memfasilitasi akses permodalan lunak, atau bahkan membangun jembatan langsung antara perajin dengan sentra produksi kelapa yang memungkinkan rantai pasok yang lebih pendek dan stabil. 

Asosiasi industri dan lembaga pendamping UMKM dapat proaktif memberikan pelatihan manajemen bisnis dan strategi bertahan di masa krisis. Tak kalah penting, konsumen setia dan masyarakat luas memiliki kekuatan untuk terus mendukung dengan membeli produk Wajit dan Galendo meskipun mungkin ada sedikit penyesuaian harga. 

Sinergi antara perajin, pemerintah, dan masyarakat inilah yang akan menjadi fondasi kuat bagi Wajit Cililin dan Galendo Ciamis untuk benar-benar "Bangkit" dari ancaman kepahitan akibat harga kelapa yang meroket.

Kesimpulan

Meroketnya harga kelapa benar-benar menjadi pukulan telak yang mengancam keberlangsungan manisnya Wajit Cililin dan Galendo Ciamis, membawa risiko kepahitan ekonomi bagi para perajinnya. 

Namun, tantangan besar ini sekaligus menghadirkan pertanyaan dan peluang untuk Bangkit? Kebangkitan ini hanya akan terwujud melalui kombinasi inovasi dari perajin sendiri, penguatan kolaborasi dan sinergi antar pelaku usaha, serta dukungan proaktif dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat, demi memastikan warisan kuliner berharga ini tetap lestari dan terus menyajikan cita rasa manisnya untuk generasi mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun