Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Edukasi Mitos Makan Tunggir Ayam: Mengenal Warisan Budaya Sunda dan Implikasinya

4 April 2025   20:07 Diperbarui: 4 April 2025   20:07 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Tunggir atau brutu/ekor ayam. | Image by Istockphoto.com/Indra Permana

Setiap perayaan hari raya Idulfitri atau Lebaran di Tatar Sunda, Jawa Barat selalu menghadirkan tradisi dan kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. 

Salah satu yang cukup menarik dan seringkali menjadi perhatian, terutama bagi anak-anak, adalah kebiasaan menyembelih hewan ternak, tak terkecuali ayam, sebagai bagian dari hidangan istimewa di hari kemenangan.

Di tengah sukacita dan kebersamaan menikmati hidangan lezat, terselip sebuah larangan yang kerap kali diucapkan oleh para orang tua, khususnya di kampung halaman, jangan memakan tunggir ayam atau brutu. 

Alasan yang menyertainya pun cukup mengakar dalam kepercayaan lokal, yaitu bahwa mengonsumsi bagian ekor ayam tersebut dapat membawa dampak buruk atau "dipangnunggirkeun" (istilah dalam bahasa Sunda) yang berarti bernasib sial, tidak beruntung, atau bahkan mengalami kemunduran di masa depan.

Asal-Usul dan Makna Mitos

Mitos mengenai larangan makan tunggir ayam ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari khazanah budaya Sunda. 

Meskipun asal-usul pastinya sulit ditelusuri secara definitif, keberadaannya menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional memaknai dan menghubungkan berbagai aspek kehidupan, termasuk makanan, dengan nasib dan peruntungan.

Dalam perspektif antropologi budaya, mitos seringkali berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai, norma sosial, atau bahkan pengetahuan praktis secara turun-temurun. 

Larangan makan tunggir ayam bisa jadi memiliki berbagai interpretasi dan latar belakang. Beberapa spekulasi mungkin mengarah pada alasan kesehatan di masa lalu, di mana bagian tersebut dianggap kurang baik untuk dikonsumsi. 

Namun, seiring berjalannya waktu, alasan tersebut bertransformasi menjadi kepercayaan yang lebih bersifat simbolis dan metafisik.

Istilah "dipangnunggirkeun" sendiri memiliki makna yang cukup dalam. Lebih dari sekadar kesialan biasa, ia mengandung arti sebuah kondisi di mana seseorang mengalami kemunduran, terkalahkan, atau tidak berhasil dalam usahanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun