Setiap perayaan hari raya Idulfitri atau Lebaran di Tatar Sunda, Jawa Barat selalu menghadirkan tradisi dan kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.Â
Salah satu yang cukup menarik dan seringkali menjadi perhatian, terutama bagi anak-anak, adalah kebiasaan menyembelih hewan ternak, tak terkecuali ayam, sebagai bagian dari hidangan istimewa di hari kemenangan.
Di tengah sukacita dan kebersamaan menikmati hidangan lezat, terselip sebuah larangan yang kerap kali diucapkan oleh para orang tua, khususnya di kampung halaman, jangan memakan tunggir ayam atau brutu.Â
Alasan yang menyertainya pun cukup mengakar dalam kepercayaan lokal, yaitu bahwa mengonsumsi bagian ekor ayam tersebut dapat membawa dampak buruk atau "dipangnunggirkeun" (istilah dalam bahasa Sunda) yang berarti bernasib sial, tidak beruntung, atau bahkan mengalami kemunduran di masa depan.
Asal-Usul dan Makna Mitos
Mitos mengenai larangan makan tunggir ayam ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari khazanah budaya Sunda.Â
Meskipun asal-usul pastinya sulit ditelusuri secara definitif, keberadaannya menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional memaknai dan menghubungkan berbagai aspek kehidupan, termasuk makanan, dengan nasib dan peruntungan.
Dalam perspektif antropologi budaya, mitos seringkali berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai, norma sosial, atau bahkan pengetahuan praktis secara turun-temurun.Â
Larangan makan tunggir ayam bisa jadi memiliki berbagai interpretasi dan latar belakang. Beberapa spekulasi mungkin mengarah pada alasan kesehatan di masa lalu, di mana bagian tersebut dianggap kurang baik untuk dikonsumsi.Â
Namun, seiring berjalannya waktu, alasan tersebut bertransformasi menjadi kepercayaan yang lebih bersifat simbolis dan metafisik.
Istilah "dipangnunggirkeun" sendiri memiliki makna yang cukup dalam. Lebih dari sekadar kesialan biasa, ia mengandung arti sebuah kondisi di mana seseorang mengalami kemunduran, terkalahkan, atau tidak berhasil dalam usahanya.Â