Mohon tunggu...
Jumari (Djoem)
Jumari (Djoem) Mohon Tunggu... Seniman - Obah mamah

Hidup bergerak, meski sekedar di duduk bersila.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Tradisi Mbolos"

29 Maret 2011   19:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:18 2046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sore itu kulangkahkan kaki, hasrat hati ingin pulkam karena rindu sama teman-teman kampung. Mungkinkah mereka masih seperti dahulu, atau sudah berubah dan tercemar dengan peradaban kota? Hujan belum reda, tambah angin kencang membuat suasana makin mencekam. Aku duduk melamun di depan emperan toko menghadang datangnya bus mini. Hari hampir magrib, mungkinkah busnya sudah habis? Celaka kalau begitu, seharusnya jam segini masih ada 2 bus mini yang menuju ke desa itu...sebentar kemudian kulihat dari sisi kanan ada bus mini yang lewat, dan langsung saja aku stop sambil berlarian diantara guyuran hujan...meskipun hanya sebentar tapi cukup untuk membasahi baju bagian pundak dan kepalaku...busyeeeeeeetttttttt busnya sudah penuh pula....wadhuh-wadhuh...tapi tak apalah sudah biasa berdiri...adhuh campur sama anak-anak SMA, wah-wah jam segini baru pada pulang...kunikmati saja perjalanan itu sambil menatap wajah-wajah adik-adik sekolah ini, wajahnya lugu, tapi pakaianya sudah beradaptasi dengan kehidupan kota...terbersit dalam benakku waktu aku masih SD dulu di desaku yang terpencil...

Waktu itu aku umur 6 tahun, di dekat rumah kakek jarak sekitar 5 km ada sekolah dasar (sekarang sudah digenangi air, ntah SD itu pindah kemana). Kakek menginginkan aku ikut sekolah itu yang katanya bayarnya murah. Dengan senang hati aku turuti keinginan kakek, kebetulan anak Pakdhe saya juga ikutan daftar ke sekolah tersebut, jadi ada teman berangkat ke sekolah. Akhirnya aku dan kakakku masuk SD tersebut, dan duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar.

Pagi itu sekitar pukul 5 pagi, aku dibangunkan kakek, disuruh mandi ke sendang, dan segera berangkat sekolah, mungkin karena harus jalan kaki lewati sungai dan pematang sawah jadi harus berangkat pagi-pagi. Dingin air sendang ini, segar sekali, meskipun saya mandi tanpa menggunakan sabun, berkeramaspun hanya menggunakan tanah liat (ampo: kusus dibuat untuk samponan dan dimakan untuk memperkuat gigi) dan tanpa gosok gigi, kecuali makan ampo tersebut (ntah jaman sekarang masih tidak di desaku). Sendang ini milik umum meskipun kakekku yang membuatnya, di sana tinggal saja ambil air dengan siwur (semacam gayung dari tengkorak kelapa yang dikasih pegangan) lalu disiramkan ke tubuh. Sendang itu ukuran sekitar 2 x 3 meter, dengan hanya dibatasi oleh batu-batu yang ditumpuk, air bisa kumpul karena memang desa kami tergolong gersang, tanahnya tanah padas putih. Dan tidak ada sekat kamar mandi atau apapun di sendang itu, mandi bersama sudah menjadi lazim dan tidak ada unsur pornografi. Pemandangan yang menggiurkan jika di kota-kota, di desaku sudah hal yang biasa (untung waktu itu aku masih kecil). Seperti biasa aku mandi dengan kakakku dan adik-adikku yang perempuan (bayangkan saja semua telanjang), padahal kakakku yang perempuan sudah duduk di bangku kelas 5 Sekolah dasar tersebut (hi hi hi hi), andai undang-undang pornografi ada mungkin rakyat se kampung tersebut sudah pertama kali kena pasal, kenapa, karena yang tua-tua tidak ada yang pakai bra, cuma jarik yang diplipit hingga atas dada, pemandangan syur setiap saat. Belum lagi kalau di sore hari, wah hebat lagi, orang tua, remaja, pemuda, semua ngantri mandi, padahal bagi yang antri itu tempatnya di atas, sebab kalau mau ke sendang tersebut harus turun, semakin menggemaskan ya, jika ada seorang gadis cantik sedang mandi, he he he, tetapi bagi kami itu hal biasa, yang mungkin bagi teman-teman Kompasiana luar biasa.

Selesai mandi seperti biasa aku berangkat sekolah dengan kakak saya, seperti biasa tanpa menggunakan seragam sekolah seperti sekarang, hanya celanan pendek dan kebetulan waktu itu aku hanya punya kaos, dan tanpa menggunakan sepatu. Kami berdua berlarian lewat pematang sawah, dan di depan ada sungai yang mesti kami sebrangi, sungai ini dangkal, airnya jernih, tanpa ada polusi sampah plastik dan kotoran lainnya, andai ada semua yang berbau alami. Dan kami gunakan sungai itu untuk memandikan ternak kami, ntah sapi atau kambing, kebetulan saya waktu itu punya 2 kambing dan 1 sapi betina yang belikan ibu supaya saya kerasan di tempat simbah .... bercerita soal sapi ini huh, aku jadi kesal, pernah pada suatu pagi (ketika belum sekolah) aku gembalakan sapi itu bersama teman-teman lain dengan gembalanya masing-masing ke tengah ara-ara (semacam lahan kosong yang penuh rumput, biasanya di pinggir hutan) tiba-tiba sapiku mendekati ladang punya tetangga saya yang ada tanaman padinya, tentu saja aku marah, terus aku cambukin dia, eh sapinya marah mengejar aku, untung aku gesit dan cepat-cepat manjat pohon untuk selamatkan diri meskipun sambil nangis dan berteriak minta tolong, dasar sapi tak tau malu maunya makan tanaman miliki tetangga, habis itu aku mogok ga mau gembala sapi, dan tidak mau ngarit (mencari rumput) untuk sapi itu, kecuali untuk kedua kambingku (masih kecil tapi sudah miliki rasa balas dendam, he he he he) .... perjalanan kami sudah lewati sungai tersebut, dan sesaat lagi harus naik untuk mencapai sekolahan kami. Tiba-tiba aku ingat,

“Eh sebelum SD itu kan ada yang punya anjing ya Kang?” tanyaku sama kakakku sambil menghentikan langkahku. Tentu saja dalam logat bahasa jawa ala desaku...

“Iyo ki.” Jawab kakakku yang juga harus ikut berhenti.

“Emoh, aku takut Kang, yuk pulang aja yuk.” Pintaku kepada kakak.

“Hush, didukani simbah, kita berangkat sekolah ya harus sampai sekolah.”

“Gah Kang aku, aku wedi asu.” Aku merengek mau menangis,,,(hihi jadi malu).

“Lha nek pulang terus ditanya simbah jawab apa?” Kakakku jadi mengiba dan bingung. Aku terdiam sesaat, juga berfikir. Hari itu hari Senin, seperti biasa ada upacara bendera (yang jelas fatwa haram hormat bendera belum ada), dan aku paling suka kalau di suruh upacara. Sebentar kemudian terbersit keinginan untuk tidak pulang tetapi main ketempat lain.

“Dolan wae yuk Kang.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun