Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Identitas Bangsa Modal dalam Kompetisi Global

22 Agustus 2014   16:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:52 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Potret ceria Anak Sekolah Dasar di Indonesia. (KOMPAS.com)"][/caption]

Trend sekolah internasional kini marak di negeri ini. Ada yang terang-terangan mencantumkan label internasional di papan namanya, tetapi ada juga yang tidak, namun tetap menyatakan bahwa sekolahnya adalah sekolah internasional. Karena prosesnya sebagian besar menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tak mau ketinggalan, sekolah negeri pun pernah membuat RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). Walaupun dipertanyakan oleh banyak pihak, karena berbagai prakteknya dianggap hanya berorientasi pada komersialisasi. Namun penyelenggara, dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu tetap meyakini bahwa RSBI tidak berseberangan dengan ketentuan yang berlaku. Alasannya, hal tersebut sangat bermanfaat untuk menghadapi kompetisi global. Mendirikan atau menyelenggarakan sekolah dengan embel-embel Internasional di belakangnya memiliki visi strategis dalam jangka panjang. Hasilnya tak langsung dapat dilihat. Karena proses pendidikan manusia membutuhkan waktu. Salah satu keinginanan para penyelenggara adalah membuat bangsa ini mampu tampil dalam kompetisi global. Sebagai bangsa besar, Indonesia memang harus mampu bersaing dalam kompetisi global. Jika tidak, maka keberadaannya akan di gilas oleh keadaan dan terus menerus menjadi follower. Namun di sisi yang lain, timbul pertanyaan yang menggelitik, mencermati fenomena sekolah internasional yang di selenggarakan di negeri ini. Praktik Sekolah Internasional Sekolah Internasional yang beroperasi di negeri ini, sebagian besar mengadopsi kurikulum asing. Ada yang resmi terdaftar sebagai ‘pembeli’ lisensi, ada juga yang sekedar menjiplak. Tak jelas bagaimana legalitasnya, yang penting sekolah bisa mengaku sebagai sekolah internasional. Karena menggunakan kurikulum asing, konsultan pendidikannya pun asing. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka pun merekrut tenaga pengajar asing. Sekolah dikembangkan dengan menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Buku-buku diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, apabila tak terlalu mampu, maka dibuatkanlah versi dua bahasa. Kondisi ini didukung pula oleh penerbit, yang menerbitkan buku pelajaran dalam bahasa Indonesia dan Inggris, ditulis oleh penulis lokal yang tak memiliki reputasi internasional. Bahkan oleh publik lokal pun namanya tak terlalu terdengar. Pesona globalisasi, membuat banyak orang tua siswa berduit melirik sekolah-sekolah tersebut. Terlebih sekolah-sekolah Internasional mendesign gedung-gedungnya dengan megah, di banding sekolah negeri atau swasta local. Membuat sekolah menjadi sekolah internasional setidaknya menarik minat para investor untuk berinvestasi. Mengingat pendidikan akan menjadi ‘industri’ yang tak akan pernah mati. Alih-alih setia pada visi awal, banyak sekolah justru mengorientasikan visinya pada bentuk industrialisasi pendidikan ini. Hakikat pendidikan, bukanlah mengasingkan peserta didik dari dunianya, tetapi membuat bagaimana ia memahami lingkungannya, baik alam maupun sosial. Penggunaan kurikulum asing dalam banyak aspek tentu bertentangan dari prinsip-prinsip ini. Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalang. Lain lingkungan social lain perangainya, dan sudah pasti pula kurikulum yang mereka kembangkan disesuaikan dengan keadaan subjek dan objek belajar darimana kurikulum tersebut berasal. Benar memang ada hal-hal yang secara universal berlaku umum, namun tanpa kurikulum adopsi pun sesungguhnya hal-hal universal tersebut pun berlaku di negeri ini. Satu tambah satu hasilnya dua, akan tetap berlaku dimanapun di ujung bumi ini. Bahasa Inggris adalah bahasa internasional yang sangat penting untuk dikuasai. Melalui penguasaan bahasa Inggris yang baik, khasanah keilmuan peserta didik akan berkembang. Namun memaknai sekolah internasional hanya karena sekolah tersebut menggunakan bahasa inggris dalam aktifitas pembelajarannya adalah pemaknaan yang dangkal. Semestinya sekolah internasional lebih mengedepankan pada reputasi internasional atau jaringan internasional yang dibangun. Penguasaan bahasa dapat melalui pusat bahasa yang bisa saja sekolah adakan. Penyampaian materi menggunakan bahasa asing atau inggris pada mata pelajaran tertentu tanpa kompetensi yang memadai dari guru dapat berakibat fatal bagi anak didik. Hal ini bisa saja terjadi karena sebagian besar pengajar pada sekolah-sekolah internasional adalah guru local yang dapat berbahasa Inggris. Tetapi belum diketahui kemampuannya berbahasa apakah sudah sesuai dengan kompetensinya, karena mengajar tentunya berbeda dengan berbicara (conversation). Kalaupun menggunakan pengajar asing, apakah pengajar tersebut benar memilki kompetensi di bidangnya. Atau karena ia bisa berbahasa Inggris. Jika dia memiliki kompetensi, berapa dia dibayar? Inilalah yang kemudian menimbulkan ketidak adilan, pelakunya justru dunia pendidikan yang mengakui kesederajatan dan kesejajaran. Ironisnya lagi sekolah mendikriminasi bangsanya sendiri. Namun apapun bentuk kritikannya, membuat sekolah menjadi ‘internasional’ lebih menjanjikan. Ada nilai ekonomis di sana. Sehingga bagaimanapun caranya, pengkhianatan seperti apapun bentuknyan tak perlu dirisaukan. Toh, pemilik otoritas legal formal dari sebuah sekolah pun sedang berusaha ngotot bahwa sekolah internasional tidak bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku. Jadi tak perlu dihentikan dan dikembalikan pada bentuk awalnya . Identitas bangsa, modal bagi kompetisi global Siapa yang akan tampil sebagai pemenang dalam kompetisi global? Mereka yang terus berinovasi sehingga apa yang mereka miliki memiliki nilai pembeda. Kata lainnya adalah mereka yang memiliki karakteristik dan berani tampil dengan karakteristik yang mereka miliki itu. Inilah yang kemudian menjadi ironi saat mencermati maraknya berbagai model sekolah internasional di negeri ini. Menggunakan kurikulum asing, jelas membuat sekolah tersebut ‘mengekor’ pada apa yang telah dicapai oleh bangsa lain. Mendesain lulusan setidaknya memiliki profil yang sama dengan visi dan misi dari lembaga asing yang dibeli lisensinya. Pada tataran ini, bukan karakter khas yang coba dibentuk tetapi karakter tiruan. Sehingga tak ada yang diandalkan untuk menjadi nilai ‘jual’ khusus bagi alumnusnya. Padahal bangsa ini memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, tetapi justru dibiarkan tak tergarap. Memang mencipta branding itu lebih sulit, karena membutuhkan kerja keras dan usaha yang lebih berat di banding ‘mewaralaba’. Termasuk di dunia pendidikan. Menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi profil sesuai dengan visi dan misi lembaga yang di waralaba, setidaknya sekolah hanya mengantarkan anak didik tak memiliki nilai special yang dibutuhkan dalam kompetisi global. Karena ada sekian banyak lulusan di dunia ini yang memiliki kecakapan seperti itu. Sehingga alumnusnya tidak memiliki kekhasan, baik dari aspek akademik maupun budaya, itu berarti pula tidak memiliki identitas. Jika demikian jangan berharap bangsa ini akan muncul sebagai trendsetter. Bagaimanapun juga identitas khas adalah modal dasar untuk memenangi globalisasi. Bangsa ini sudah memiliki sumbernya, hanya butuh kepercayaan diri untuk mengolah dan mengelolanya. Mengembangkannya menjadi kebanggaaan, bukan untuk menjadi eksklusif, tetapi dihadirkan supaya bangsa lain pun merasakan pesonanya. Dan dunia pendidikan sudah semestinya menjadi garda terdepan, bukan justru lari dan mencoba mengingkarinya.@

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun