Mohon tunggu...
Asaf Yo
Asaf Yo Mohon Tunggu... Guru - mencoba menjadi cahaya

berbagi dan mencari pengetahuan. youtube: asaf yo dan instagram: asafgurusosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mas dan Mbak yang Sedikit Berubah

14 Maret 2018   15:22 Diperbarui: 14 Maret 2018   15:26 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kali ini saya ingin membahas tentang hal yang sepele namun sering saya jumpai. Apa yang anda ingat tentang sebutan mas mbak di masyarakat? Hmmmm, pasti panggilan saudara laki-laki atau perempuan di jawa pastinya.atau kalau gitu manggil orang yang belum dikenal atau sudah dikenal namun lebih tua. Itu pengertian secara umum, tapi saya merasa panggilan itu sudah berubah makna sekarang ini.

Selama saya di di Surabaya, sepertinya nama mas, identic dengan pegawai seperti cleaning service, mas mas penjual cilok atau tukang atau apapun itu.Begitu juga dengan mbak, identic dengan nama panggilan untuk penjual, atau penjaga atau asisten rumah tangga (ART). Saya amati mulai banyak juga orang keturunan Jawa generasi milenial yang tidak lagi membiasakan diri memanggil nama mas atau mbak untuk memanggil kakak mereka, tapi hanya menyebut Kak Andri, Kak Bintang dan sebagainya. Bisa jadi dalam alam bawah sadar ada suatu rasa minder  dan menganggap panggilan itu identic dengan posisi pekerja kasar /renda dalam masyarakat.

Hal yang sama, mulai saya temui dengan sebutan pak lik dan bulik. Untuk generasi muda, orang tua jaman sekarang mulai membiasakan diri menyebut kata om dan tante untuk mengganti pak lik dan bulik kepada anak anak mereka. Kesan Om dan tante memang lebih keren dibanding istilah paklik dan bulik. Cuma , istilah budhe dan pakdhe masih bertahan, walau itu untuk ponakan ponakan saya . mungkin karena budhe dan pakdhe terdengar lebih enak didengar dibanding paklik dan bulik yang lebih kuno, atau norak atau apalah itu. Mungkin saja lho.

rSaya jadi ingat tentang stratifikasi social, apakah sebutan sebutan seperti ini juga bisa menjadi penanda bahwa seseorang ada di tingkatan mana berdasarkan apa yang biasa dia panggil? Misalnya panggilan Kakak atau Sinyo Noni terlihat lebih berkelas dan berada di kelompok masyarakat atas daripada panggilan mas mbak misalnya? Untuk bisa naik ke level atas maka penyebutan juga harus diubah untuk menyesuaikan diri dengan kelompok yang baru? Bisa jadi untuk menyesuaikan diri dengan kelompok atas maka akan menggunakan penyebutan yang berbeda secara identitas suku hanya untuk bisa berada dalam level yang sama?

Penduduk dari suku Jawa kurang lebih 45% dari total penduduk Indonesia. Tentu saja mereka paling mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan. Mengingat jumlahnya paling besar tentu saja banyak ditemukan mereka bekerja di berbagai sector , termasuk sector pekerjaan kasar sekalipun. Bisa jadi situasinya , karena kebanyakan penduduk ini juga bekerja di berbagai sector maka proses stratifikasi mulai membedakan mana sebutan sebutan yang sifatnya lebih baik untuk kelompok atas dan mana yang tidak. Dan karena kelompok pekerja kasar ini biasa memanggil mas dan mbak, maka untuk membedakan dengan kelompok bawah (atau agar tidak dianggap bagian dari kelompok bawah) maka mulailah menggunakan kata lain yang lebih modern dan bagus.

Dulu sih saya tidak begitu menggubris hal-hal yang sifatnya remeh seperti ini. Saya pikit tidak ada masala dengan itu karena jaman sudah mengalami perubahan. Namun saaat saya memerhatikan teman teman saya oraang batak, misalnya yang masih membahasakan dengan istilah istilah batak untuk menyebut seseorang dalam keluarga mereka, atau orang tionghoa dengan istilah misalnya aik, emak, susuk, koko. Cece, untuk panggilan dalam keluarga maka ada sesuatu yang mengusik dalam hati saya.

Saya merasa terusik akan kesukuan saya, sebagai orang jawa, kenapa saya harus mengganti istilah istilah lain dalam budaya saya sementara orang orang lain dalam budaya lain masih tetap memertahankan budaya mereka.  Sepertinya ada yang salah dengan cara pandang sebagian orang keturunan Jawa dalam memaknai kemajuan jaman. Sebagian orang malu dengan istilah ini.

Hal ini diperkuat dengan pandangan orang lain terkait istilah ini. Saya masih ingat sewaktu mengajar, kebetulan hampir semua murid saya adalah siswa keturunan. Saat saat tertentu , mereka diminta untuk membersihkan kelas mereka sendiri dan mereka langsung memanggil teman temannya dengan istilah mas dan mbak. Saya yang melihatnya hanya berpikir, oh jadi dalam pandangan anak anak ini, mas dan mbak adalah orang yang melakukan pekerjaan seperti itu. Nah, orang orang jawa yang mungkin tidak mau disamakan dengan jenis jenis pekerjaan seperti itu akhirnya memanggil dengan istilah lain yang sifatnya netral. Toh jaman sekarang juga kalau penjual menjual sesuatu pasti menggunakan kata yang netral, misalnya kakak, hehehe.

Nah, bagaimana saya menyikapi hal ini. Secara pribadi saya tidak dapat berbuat apa-apa, karena pemikiran ini tidak hanya menjangkiti satu dua orang saja, tapi banyak orang. Contoh sederhana, melihat ponakan ponakan saya memanggil saya om, yah, saya tidak bisa meminta mereka untuk mengganti jadi paklik, karena dalam alam bawah sadar sendiri juga merasa ada yang kurang pas dengan hal itu, walau saya memanggil paman dan bibi saya (generasi tua) dengan sebutan pak lik dan bulik. Begitupun juga kalau melihat ponakan ponakan saya memanggil saudara mereka dengan sebutan kakak, bukan mas mbak, maka saya juga harus siap menerima perubahan yang ada.

Pertanyaannya apakah perubahan ini bisa dicegah atau tidak? Disatu sisi sedikit demi sedikit saya merasa identitas saya sebagai orang jawa sudah mulai hilang, disisi lain situasi lingkungan juga tidak memungkinkan bagi saya tetap mempertahankan cara pandang yang lama ini. Apakah bisa memunculkan kebanggaan dalam diri orang orang ini dengan panggilan panggilan yang menunjukkan identitas kesukuan mereka? Masih kuat dalam ingatan saya saaat membaca surat kabar di jogja yang menyebutkan bahwa orang tua jaman sekarang sudah mulai membiasakan anak anak mereka bicara dengan bahasa Indonesia bukan bahasa jawa sebagai pengantar, maka saya hanya merasa secara pribadi saya berkulit jawa, tapi secara dalamnya saya merasa kurang jawa. Hmmmmm. Perubahan social budaya memang tidak bisa dihindari, pelan tapi pasti, dan saya mulai agak kesulitan untuk berubah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun