Mohon tunggu...
Jovita Triananta
Jovita Triananta Mohon Tunggu... Mahasiswa

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Potret Hambatan Pendidikan Inklusif di Kalimantan Timur

12 Oktober 2025   03:00 Diperbarui: 12 Oktober 2025   01:58 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan inklusif telah menjadi fokus utama dalam kebijakan nasional, memberikan hak bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama siswa lainnya di sekolah umum. Namun, di Kalimantan Timur, implementasi dari kebijakan ini masih menghadapi berbagai tantangan --- mulai dari kekurangan jumlah guru, sarana yang memadai, hingga rendahnya kesadaran masyarakat yang bervariasi

Harapan dan Kenyataan di Lapangan
Sebenarnya, Kalimantan Timur sudah mengambil langkah positif dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2023 yang mengatur tentang Standardisasi Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Pendidikan Menengah. Peraturan ini menjadi landasan hukum penting untuk membuka akses yang lebih besar bagi siswa disabilitas di tingkat SMA dan SMK.

Namun, masih terdapat kesenjangan yang signifikan antara regulasi yang ada dan kondisi sebenarnya. Di lapangan, banyak sekolah yang belum siap baik dari segi sumber daya maupun pemahamannya. Data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim menunjukkan adanya 34 Sekolah Luar Biasa di provinsi ini, dengan 2.507 siswa berkebutuhan khusus dan hanya 380 guru yang tersedia. Angka ini menunjukkan jumlah pendidik yang memahami kebutuhan anak inklusi masih sangat terbatas.

Hambatan-Hambatan Utama Pendidikan Inklusif di Kalimantan Timur
1. Kekurangan Guru Pendamping dan Keahlian
Banyak sekolah reguler yang ditunjuk sebagai pendidikan inklusi belum memiliki guru pendamping khusus. Sebagian besar guru umum belum mendapatkan pelatihan yang relevan mengenai metode pengajaran untuk anak-anak dengan autisme, tunarungu, tunagrahita, atau disleksia. Akibatnya, proses pembelajaran di kelas inklusif cenderung seragam dan tidak memenuhi kebutuhan individu anak.

2. Kekurangan Fasilitas dan Aksesibilitas
Beberapa sekolah di Samarinda, Balikpapan, dan Kutai Kartanegara mulai menyediakan fasilitas dasar, tetapi institusi di kabupaten seperti Mahakam Ulu atau Paser masih jauh dari standar yang diperlukan.
Fasilitas seperti toilet yang ramah disabilitas, jalur untuk kursi roda, alat bantu dengar, serta materi ajar yang berbasis Braille masih sangat sulit ditemukan. Tanpa dukungan fasilitas yang memadai, anak-anak dalam pendidikan inklusi akan kesulitan untuk berpartisipasi dalam kegiatan belajar secara menyeluruh.

3. Stigma Sosial dan Kurangnya Pemahaman
Sebagian orang masih berpendapat bahwa anak-anak disabilitas lebih baik ditempatkan di Sekolah Luar Biasa. Sudut pandang ini menyebabkan banyak orang tua merasa ragu untuk memasukkan anak mereka ke sekolah umum. Bahkan, terdapat kasus di mana sekolah menolak untuk menerima siswa disabilitas dengan alasan fasilitas yang "belum memadai". Padahal, semangat inklusi tidak hanya berkaitan dengan fasilitas, melainkan dengan penerimaan serta rasa empati.

4. Koordinasi Antarlembaga yang Lemah
Pelaksanaan pendidikan inklusif di Kaltim melibatkan banyak pihak, termasuk dinas pendidikan, dinas sosial, dan lembaga penyandang disabilitas. Sayangnya, kolaborasi antar sektor ini sering kali berjalan kurang efektif. Contohnya, program pelatihan guru hanya menjangkau sebagian sekolah saja, sementara dukungan fasilitas tidak selalu disertai bantuan implementasi yang konkret.

5. Pendanaan yang Tidak Terarah
Walaupun Kaltim dikenal sebagai provinsi yang kaya dengan sumber daya alam, anggaran untuk pendidikan inklusif masih sangat terbatas. Sekolah sering kali terpaksa menggunakan dana BOS reguler untuk memenuhi kebutuhan alat bantu belajar bagi siswa disabilitas, yang seharusnya mendapatkan sumber pendanaan terpisah.


Kalimantan Timur berada pada titik kritis: memilih untuk menjadi pelopor inklusi di bagian timur Indonesia atau terperangkap dalam kebijakan yang tidak diikuti oleh tindakan nyata. Rintangan yang ada seharusnya menjadi kesempatan untuk berbenah, bukan menjadi alasan untuk mundur dari perbaikan sistem. Pendidikan inklusif adalah perjalanan yang panjang dan mungkin penuh tantangan, namun di akhir sana ada harapan untuk masa depan di mana tidak ada anak yang akan ditinggalkan hanya karena perbedaan yang mereka miliki.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun