Agustus 2025 adalah bulah yang penuh bara dan tensi. Telah terjadi banyak keributan akibat ucapan dan kebijakan pemerintah yang menusuk hati rakyat. Pada malam Kamis di Ibukota, sebuah tragedi terjadi. Seorang pemuda bernama bernama Affan Kurniawan merenggang nyawa akibat terlindas mobil barracuda milik polisi. Hal tersebut mengundang kemarahan, terkhususnya dari kalangan supir ojol (ojek online) sebab korban berkerja untuk Gojek dan sedang berkerja di malam terakhirnya. Pada hari berikutnya (29/8), demo memasuki tahap yang baru. Di siang hari, jenazah Affan diiringi oleh ribuan pengemudi ojol menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. Kematian Affan menambah kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap pemerintah, terkhususnya DPR terkait masalah tunjangan. Aksi simpati tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain. Ada yang melakukan demonstrasi, ada yang melakukan doa bersama.Â
Namun, situasi mencekam ketika langit mulai gelap. Kemarahan yang sudah mencapai puncak dan dugaan adanya penyusup mengakibatkan pecahnya kerusuhan. Di Jakarta, misalnya, beberapa halte transjakarta menjadi korban amukan massa. Situasi yang mencekam juga terjadi di kota lain, terutama di kota Makassar. Dalam satu malam, massa telah membakar habis gedung DRPD Makassar dan DPRD Sulawesi Selatan. Hingga artikel ini rilis, terkonfirmasi ada tiga orang yang merenggang nyawa akibat kebakaran di gedung DPRD Makassar.
Pernyataan bahwa kerusuhan adalah sebuah ekspresi keresahan masyarakat adalah sebuah pernyataan yang tidak berakal. Pasalnya, kerusuhan tidak hanya merupakan sebuah hal yang kontraproduktif, namun juga menjadi ironi. Pertama, mari memahami apa yang menjadi sebab awal dari demonstrasi ini. Motif utama dari demo adalah ketidaksetujuan dengan pemberlakukan tunjangan anggota DPR. Banyak pembayar pajak tidak sudi merelakan uang jerih payah mereka untuk memfasilitasi anggota dewan yang justru selama beberapa hari terakhir mengeluarkan pernyataan yang tidak  pro-rakyat. Tindakan vandalisme terhadap fasilitas umum tidak merugikan anggota DPR. Mereka tidak naik transportasi umum dan saat ini mereka sedang dihujat karena melarikan diri ke luar negeri. Korban dari vandalisme ini adalah rakyat. Cepat atau lambat, bangunan-bangunan yang rusak akan diperbaiki oleh negara dan tentu saja ada uang rakyat yang akan dihabiskan untuk sebuah tindak yang kontraproduktif.Â
Kedua, vandalisme memang melegitimasi demonstrasi. Mari melihat kembali pembakaran gedung DPRD kota Makassar. Tidak sedikit orang yang bergembira atas ludesnya bangunan itu oleh si jago merah. Beberap sumber menyebut kalau massa bersorak sorai melihat api membakar bangunan. Tidak sedikit juga yang menyanjungi para perusuh atas nama revolusi. Pertanyaannya hanya satu dan ini sudah diungkapkan oleh beberapa pihak. Buanglah pembelaan bahwa ini semua dimulai oleh DPR. Apa bedanya antara tujuh polisi yang melindas Affan dengan para perusuh yang tidak peduli ada orang di dalam gedung sebelum menyalakan api.
Demonstrasi adalah hak warga negara dan kita tidak tinggal di negara totaliter. Jika ada penyusup, maka haruslah ditendang untuk kebaikan bersama. Alangkah baiknya kalau revolusi bersenjata tidak terjadi. Orang mengira apa yang terjadi di Perancis pada akhir abad ke-18 adalah sebuah inspirasi dan motif untuk meraih sebuah utopia, namun tidak sedikit yang ingat bahwa setelah raja Louis XVI dipenggal, Robespierre yang memegang takhta.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI