Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) bikin ide guna membenahi kualitas pendidikan di wilayahnya dengan mengirim siswa-siswa nakal ke barak militer. Ide ini memang terdengar heroik dan tampak sebagai suatu terobosan yang mantap serta sangat nasionalis.
Namun, mengirim siswa nakal ke barak militer juga punya potensi masalah, terutama kalau ngomongin kecocokan metodologi pendidikan angkatan perang dengan sipil. Alih-alih sebagai ide strategis, kebijakan membina siswa di barak militer malah menjelam sebagai ide populis.
Yah, kita sama-sama tahulah bahwa Kang Dedi suka tampil di layar digital. Apalagi, baru-baru ini dia juga mendapat julukan baru dari Gubernur Kalimantan Timur Rudy Mas’ud yang menyebutnya sebagai "Gubernur Konten".
Sebagai politisi, Kang Dedi memang jempolan dalam memoles citra sebagai figur pejabat yang peduli, gercep, empati, ampuh, dan tahan banting. Gayanya plek-ketiplek sama Jokowi yang suka blusukan, menyisir lapangan, meninjau-ninjau permasalahan, dan melongok ke gorong-gorong.
Namun, KDM juga perlu ingat posisinya sebagai pejabat eksekutif yang punya kuasa strategis dalam mengeksekusi setiap kebijakan. Sebagai pemimpin daerah, KDM punya akses untuk memperbaiki sistem dari hulu ke hilir, bukannya malah potong kompas dan melemparnya ke barak militer.
Dan inilah alasan mengapa gagasan mengirim anak nakal ke barak militer adalah ide yang problematik.
1. Mencetak Pelajar "Siap Komandan!"
Disiplin militer berbeda dengan disiplin sipil. Disiplin di militer dibangun untuk kondisi kegawatdaruratan: situasi perang, ancaman bersenjata, ancaman kedaulatan wilayah.
Disiplinnya keras, strukturnya kaku, metodenya juga bukan buat anak-anak remaja yang bolos sekolah atau gemar main Mobile Legends. Selain itu, karakter disiplin militer juga menghendaki garis komando yang ketat dan tentu saja taat mutlak, tanpa tanya.
Sementara pendidikan sipil justru butuh ruang dialog, pendekatan psikologis, dan pemahaman kontekstual. Disiplin-disiplin yang subur akan ruang diskusi, dimengerti, diterapkan dengan sadar. Bukan dipaksa lewat teriak dan push-up.
Ujungnya, alih-alih mencetak karakter pelajar yang kritis dan demokratis, memasukkan siswa ke barak justru malah menghasilkan pelajar-pelajar yang hanya cakap "Siap Perintah!", "Izin Komandan!", "Mohon Periksa", "Siap Arahan, Pak!".