Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Full Day School, Kebaikan atau Makin Menjahati Anak?

13 Agustus 2016   15:59 Diperbarui: 13 Agustus 2016   16:09 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Muhajir Efendy mencanangkan memperpanjang jam belajar di Sekolah. Sebetulnya pemikiran ini sudah lama menjadi buah bibir dalam masyarakat. Sebagai seorang warga negara, saya paham bahwa pendidikan sudah barang wajib dikembangkan, sudah tugas negara dan juga kita dalam mengembangkan pendidikan karena “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Tapi saya merasa terhentak dan merasa Muhajir Efendy keliru, melakukan penjelasan dengan mengaitkan kata “Liar” dengan sistem memperpanjang jam belajar yang singkat “Full-Day”.  Pendidikan memang sudah menjadi cara mengubah karakter, kita bisa memahaminya mulai jaman Hindu-Budha hingga Sekarang. Bahkan seorang Agus Salim yang kaum terdidik dan memperjuangkan Indonesia, mengedepankan pembelajaran di Rumah dan mulai menyekolahkan anaknya pasca kemerdekaan.

Menjadi menteri pendidikan menjadikan diri kita harus sering mengelus hati, sedikit berbeda dalam pandangan akan mengundang komentar. Kita bisa kita lihat Daoed Joesoef yang menghapuskan libur puasa yang begitu panjang. Sedangkan  Johannes Leimena yang diyakini memasukan kurikulum pendidikan agama dalam sekolah nasional. Adanya sekolah menjadi bentuk politik dan peradaban yang ditentukan semua orang dewasa.

Orangtua, Guru, Pendidik, bahkan Menteri selalu Jahat

Yang menentukan pendidikan anak adalah orang dewasa, bahkan anak-anak tidak terlalu berhak menentukan sekolah maupun bangku ia duduki. Orang tua juga yang menentukan anaknya sekolah dan rela datang ke sekolah saban hari pada hari pertama sekolah. Lalu ketika pintu kelas meminta anaknya duduk dibangku depan papan tulis. Sehingga pada akhirnya pendidikan untuk anak berubah kebutuhan bukan hanya untuk anak namun orang tua.

Dalam menyusun kurikulum sekalipun dewasa adalah orang paling jahat. Karena kita dewasa ini merancang semua hal tanpa menanyakan pada anak sesuai atau tidak. Secara umum semua sekolah  yang hadir dengan memenuhi tugas mulia sesuai makna pendidikan dan negara. Kurikulum dan serta kegiatan belajar mengajar menjadikan anak yang masuk dan belajar harus ikut dengan kegiatan yang menurut kita ideal dengan pendidikan.


Secara umum saat kita membicarakan pendidikan formal kita menghadapkan anak pada situasi harus menerima semua sebagai terbaik. Kita menimbang ilmu yang dimiliki, menjadikan bagian dari proses komunikasi antara kita dan anak. Semisal bagimana menulis, membaca atau dalil Phytagoras adalah ilmu yang dimiliki seorang dewasa kepada anak. Ilmu yang merupakan pemahaman dari orang sudah belajar kepada pendidikan memang bertujuan baik karena memberikan informasi pemahaman.

Saya tidak mendakwa bahwa pendidikan itu antara penting dan tidak, namun yang pasti bahwa pendidikan formal adalah bentuk modernisasi. Sekolah sebagai cabang dari pendidikan formal, atau menjadi dahan paling kuat tidak bisa lepas dari nilainya yang begitu postivisme. Hampir semua ilmu dalam dunia pendidikan sangat erat dengan dunia dengan membangkitkan nalar dan logika umum secara lebih lanjut dikatakan dapat dibuktikan.

Sekolah dengan unit yang terkecil dalam menyukseskan program pemerintah dalam mengatur berkembangnya pendidikan. Sehingga kebanyakan program pendidikan menjadi terfokus dalam sekolah yang memang wujud dari pendidikan formal. Anda dapat memandang ketika bagimana sekolah mampu memenuhi kebutuhan mulai dari kebutuhan kita yang begitu berukuran modern.

Kita memandang semua dalam ukuran yang baik dengan pendidikan sesuai dengan ditawarkan dengan gaya hidup yang maju. Memperbaiki pendidikan menjadi salahsatu perdebatan, secara umum kita memandang pendidikan bergaya dengan standar yang berkiblat ke barat. Pertama mengedepan teknologi, sekolah yang kualitas maju, sering kali dituntut mengikuti kemajuan zaman bukan dari filisofinya.

Bahkan banyak sekolah bertarung dengan menawarkan fasilitas sekolah yang mumpuni ditambah dengan prestasi sekolah yang banyak. Inilah sebuah kondisi yang menarik, orangtua yang membutuhkan pihak yang mampu mengajar anaknya. Hal ini disadarkan dua hal, pertama adalah rutinitasi kerja. Terutama dalam kota yang selalu bersinggungan dengan kebutuhan dan standar yang tinggi. Belum ditambah budaya kerja dan starta ekonomi yang kian meninggi, segala ukuran bisa ditentukan dengan ukuran apa yang umum.

Kebutuhan sekolah yang mampu memberikan fasilitas yang sepadan dengan ukuran masyarakat menjadi perioritas selain pekara bagusnya pekara lain. Orangtua menjadi pihak yang sentral, mereka ingin anak berkembang sebaik apapun baik dalam sisi akademik maupun non-akademik. Artinya sekolah yang memenuhi sarana dan fasilitas pendidikan untuk menarik perhatian oarangtua dan anak didik.

Mereka tanpa sadar memenuhi dua standar. pertama, penilaian dari dinas pendidikan tentang peningkatan kualitas. Kedua  peningkatan standar sekolah baik daerah maupun seluruh Indonesia sesuai dengan kekuatan ekonomi padahal sejatinya beban negara maupun daerah dalam  pendidikan adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” tidak kurang dan tidak untuk dilebihkan.

Kedua adalah orentasi masyarakat adalah pendidikan formal, mulai SD, SMP, SMA, sampai Kuliah adalah bentuk pendidikan formal. Modernitas masyarakat yang sejatinya bergaya barat, mengantarkan pemikiran kita kualitas pendidikan formal adalah segalanya. Untuk mencapai standar perlu melalui tahapan pendidikan. Artinya sekolah menjadi satu-satunya jalan dalam mengembangkan pendidikan.

Bahkan seperti mengutip pergerakan pendidikan dari kerajaan tradisional, kolonial, Jepang dan banyaknya kurikulum dibuat. Sekolah menjadi tesis yang paling mujur, jika dahulu sekolah dibuat kaum pribumi macam sekolah yang dibuat Muhamamdiyah,  Pondok Pesantren milik NU bahkan Sekolah dimilki Budi Utomo bahkah Taman Siswa sekalipun adalah perwujudan dari sekolah milik Pemerintah Kolonial. Dimana kebijakan belum menyasar kebutuhan penduduk.

Sekolah menjadi barang mewah baik dahulu sampai sekarang, namun sejatinya ada perbedaan kelas yang meyasar. Jika dahulu Sekolah menyasar pada perbedaan yang dibuat pemerintah dengan segala kebijakannya. Maka kita, ketika sudah memerdekaan dan memiliki gaya padangan”mencerdaskan kehidupan bangsa”, melakukan suatu yang lebih menakutkan. Tanpa sadar pengembangan suatu sekolah ditentukan kekuataan ekonomi terutama daerah.

Benang merah yang saya jelaskan adalah minat dan kebutuhan masyarakat, ketika masyarakat kota yang memiliki akses informasi dan kebutuhan meningkat. Serta ditambah dengan kekuataan ekonomi. Perkembangan sekolah akan berkembang dengan daerah, inilah menjadi masalah. Karena sekolah terutama SD dan SMP yang merupakan sekolah wajib. Dalam menjual diri, mendapatkan anak didik. Mereka bukan hanya merangkul perserta didik, namun juga menarik kepercayaan orangtua yang memiliki standar yang banyak dan penentu utama pendidikan anak.

Kota VS Desa

Perbedaan kota dan desa, adalah perrdebatan yang tidak mungkin selesai. Kota membusungkan badan dengan akses publik yang baik serta ekonomi  yang besar. Desa yang mengingatkan ikatan masyarakat memang penting dalam meperkuat rasa kebersamaan.

Masyarakat yang merupakan satu komunitas yang interpenden (saling bergantung antara satu dan lainya).Dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Melihat dari berbagai aspek kehidupan yang terjadi di masyarakat pada saat ini, masih terjadinya beberapa fenomena pergeseran nilai, norma serta adat istiadat kaitannya dengan pemahaman tentang masyarakat desa dan kota.

Dalam Sosiologi, segala dalam segal dalam masyarakat Kota dan masyarakat Desa dibelah dalam konsentrasi berbeda. Sosiologi yang membahasa gejolak dikota adalah Sosiologi Kota sedangkan untuk Desa disebut Sosiologi Desa. Walaupun berbeda, kedua Sosiologi ini memiliki hubung yang intens.

Walaupun memiliki topik yang bebeda, semisal kota ynag tidak lepas dari sistem kerja, kosumtif, serta industrialisasi yang tidak bisa dilepasakan dalam wilayah kota. Sedangkan desa memiliki karakter yang mungkin berbeda memiliki ikatan tradisi dan ikatan masayarakat nan kuat merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan.

Muhadjir, memang ingin mengambil konsep keduanya bagimana masalah kota kian kronis dan menyelesaikan pada hubungan intens adalah guru dan murid. Entah hasratnya mengembalikan konsep Ki Hadjar Dewantara dan Van Lith yang menghidupkan hubungan romantisme murid dan guru. Konsep adalah sebtas konsep, gerakan masyarakat selalu lebih cadas dari teori dibuku.

Mengambil teori yang baik, dalam menyelesaikan segala dengan kedekatan yang jelas masyarakat sekan percuma. Berbicara sekolah yang buruk didesa, elemen masyarakat yang rusak ikota besar, serta rutinitas Orang tua dalam budaya kerja adalah masalah klise dalam proses pembelajaran. Anak tidak bisa lepas dari 3 kekuatan dalam transfer nilai. Masyarakat, Sekolah, dan Orang tua adalah factor yang penting. Cacat dalam sebuah unit, menyebabkan proses lamban melakukan transfer nilai.

Muhadjir memang langsung menyerang tiga unit ini, walaupun ia abai dalam perkara desa. Ia mengukur segala terjadi ini dalam prefektif kota. Dalam ukuran kebijakan memang tiada yang salah, ia memang harus resah dalam perubahan masyarakat untuk peserta didik di seluruh Indonesia. ia memang mendekatkan sekolah sebagai pihak yang berkontribusi, cukup besar.

Anak yang dunia Cuma kenal siap tetangganya, jalan rumah, siapa keluara, dan bagimana wajah gurunya. Mereka akan menghadapi proses doktrinasi modern demi mengwujudkan pendidikan karakter walaupun pendidikan karakter di Indonesia lebih rumit karena bangyaknya suku bangsa dan nilai masyarakat yang seabrek dibandingkan Italia yang bersandar “Cattenacio”.

Seperti mengutip kata Crayon Sinchan saat masao mengingatkan dia mesti pulang untuk les privat. “aku menyukai guru lesku kok, namun sekarang aku ingin focus main”. Apakah benar kita harus menrevolusi pendidikan untuk semata pendidikan anak tanpa ada perubahan dalam masayrakat.

Cilegon, 13 Agustus 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun