Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Guru - Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

"Covidiot" dan Isu Over Capacity Rumah Sakit Covid-19

4 September 2020   10:35 Diperbarui: 12 Januari 2021   13:56 1941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wow, hari kamis lalu (3/9/2020) Indonesia kembali membuat rekor tertinggi dengan catatan kasus baru Covid-19 sebanyak 3.662 seperti dilaporkan Worldometers. Angka ini mematahkan rekor tertinggi sebelumnya yaitu 3.308 kasus baru yang tercatat pada tanggal 29 Agustus 2020.

Rekor baru ini pun disusul dengan catatan jumlah kematian baru sejumlah 134 kasus. Hingga hari kamis (3/9/2020) total telah terjadi 7.750 kasus kematian akibat virus corona di Indonesia.

Angka penularan Covid-19 di Indonesia, sesuai dengan data Worldometer tercatat sebanyak 184.268 kasus dari total penduduk Indonesia saat ini yang berjumlah lebih dari 274 juta jiwa. Ini berarti, persentase penduduk Indonesia yang sudah tertular virus corona mencapai 0,067% atau rata-rata 6-7 dari tiap 10 ribu orang.

Sangat disayangkan, setelah 6 bulan berlangsungnya Pandemi Covid-19 di Indonesia, ternyata kita masih belum berhasil melawan virus ini dengan benar bahkan sepertinya makin mengkuatirkan.

Jika kasus positif Covid-19 terus mengalami lonjakan, maka tingkat ketersediaan ruang isolasi Rumah Sakit yang menangani pasien Covid-19 akan menjadi isu penting untuk dipikirkan. 

Apalagi dalam dua bulan ke depan, kita belum bisa berharap pada vaksinasi karena proses uji coba Vaksin Covid 19 masih sedang diupayakan.

Kecuali di Jakarta yang tersedia Rumah Sakit khusus untuk menangani pasien Covid-19 seperti RSPI Suliati Saroso dan RS Darurat Wisma Atlet, di kota-kota lain ruang-ruang khusus di RS Umum lah yang disiapkan sebagai kamar isolasi untuk pasien Covid-19.

Jika jumlah pasien yang perlu dirawat makin banyak, maka RS akan membutuhkan ruang-ruang baru karena ruang isolasi yang sebelumnya telah dipersiapkan tidak lagi mencukupi.

Makin banyak kamar yang disiapkan sebagai kamar isolasi, akan berdampak pada kurangnya konsentrasi RS untuk melayani pasien non Covid-19. Karena mencampurkan pasien Covid-19 dan pasien lainnya dalam satu gedung sangat tidak dianjurkan karena akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

Beberapa waktu lalu, akun Instagram pandemictalks mencoba melakukan kalkulasi terkait ketersediaan tempat tidur RS untuk pasien Covid-19. Analisa matematis dilakukan merujuk dari data Pusdatin Kemenkes yang dirilis pada 22 Agustus 2020.

Disebutkan bahwa total tempat tidur Rumah Sakit di seluruh Indonesia untuk pasien Covid-19 per 22 Agustus 2020 adalah 40.553. Pada saat itu, jumlah pasien Covid-19 yang diisolasi di RS secara nasional adalah 16,642 orang atau setara 41% yang kemudian disebut sebagai Occupancy Rate.

Selanjutnya disimpulkan, jika lonjakan positif Covid-19 terus berlanjut, dan meskipun penambahan jumlah tempat tidur dilakukan, ternyata tidak akan cukup untuk menahan Occupancy Rate 41%. Diperkirakan dalam dua bulan ke depan Rumah Sakit di Indonesia tidak akan lagi bisa menampung pasien Covid-19.

Di beberapa Provinsi, Occupancy Rate daerah sudah melampai Occupancy Rate nasional seperti di DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Bahkan di Papua, kelebihan kapasitas telah terjadi dengan tingkat Occupancy Rate mencapai 107,6%.

Kasus over capacity RS dikabarkan telah terjadi di India. Karena keterbatasan tempat tidur RS untuk merawat pasien Covid-19 di sana, pihak RS mulai membuat tempat tidur RS dari kardus.

Tentu saja kita tidak berharap kasus seperti ini juga terjadi di Indonesia. Namun jika dalam dua bulan ke depan, lonjakan-lonjakan kasus positif Covid-19 terus terjadi, bukan tidak mungkin kasus di India juga terjadi di Indonesia.

Terus meningkatnya angka penularan Covid-19 yang terjadi, menunjukkan bahwa penerapan pola hidup baru di tengah masyarakat belum dilakukan sepenuhnya. Masyarakat masih banyak yang enggan menggunakan masker dan menjaga jarak saat beraktivitas di luar rumah.

Belakangan muncul istilah baru "Covidiod", yang merujuk pada orang-orang yang dengan secara sengaja mengabaikan protokol new normal karena menganggap bahwa virus corona hanya hoax atau bualan semata.

Mereka ini dengan sengaja tidak menggunakan masker dan melakukan social distancing. Beberapa malah aktif melakukan provokasi pada banyak orang dengan mengaitkannya pada isu politik atau bisnis rumah sakit.

Atau jika meyakini bahwa virus ini ada, mereka yang disebut "Covidiot" ini merasa diri kebal dan menganggap infeksi Covid-19 tidak semenakutkan seperti yang diberitakan oleh media.

Meskipun menyadari faktor resiko terinfeksi, orang-orang seperti ini menganggap dapat sembuh dengan sendirinya tanpa harus mengalami perawatan medis di Rumah Sakit.

Dan yang paling parah adalah beberapa yang terkesan melawan dan menunjukkan sikap egois. Merasa kebebasannya selama PSBB dikekang lalu ketika pelonggaran terjadi, merasa bebas melakukan apapun tanpa menghiraukan lagi protokol kesehatan yang berlaku.

Pesta atau hajatan mulai dilakukan tanpa pembatasan jumlah undangan dan pelaksanaan protokol kesehatan. Ngumpul-ngumpul hingga jam malam makin marak dilakukan tanpa menggunakan masker dan jaga jarak.

Demikian pula aktivitas ke luar kota, makin banyak dilakukan namun tanpa disiplin yang ketat. Termasuk pegawai-pegawai kantor yang melakukan dinas luar kota, langsung masuk kerja tanpa prosedur isolasi mandiri terlebih dulu selama 14 hari pertama kedatangan.

Melonjaknya kasus baru Covid-19 yang terjadi, juga tidak lepas dari momen cuti bersama beberapa waktu lalu. Masyarakat yang tidak lagi bisa menahan diri untuk berwisata namun tidak disiplin menerapkan protokol kesehatan, berpotensi besar tertular virus corona dari klaster tempat wisata.

Kekuatiran terbesar sebenarnya terkait isu akan dibuka kembali sekolah untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka. Tingkat kepadatan warga sekolah akan menjadi isu krusial bagaimana penerapan protokol kesehatan secara tepat.

Ditambah lagi usia peserta didik yang belum matang, dengan tingkat tanggung jawab dan disiplin yang masih harus diragukan, bukan tidak mungkin, memaksakan sekolah kembali dibuka dalam waktu dekat akan memunculkan klaster baru dari lingkungan sekolah.

Jika kemunculan klaster-klaster baru terus bertambah, maka kita pun akan bersiap pada kemungkinan munculnya klaster rumah tangga yang berpotensi menyerang orang-orang dengan penyakit penyerta dan usia rentan.

Selama ini, para lansia dan bayi cukup aman ketika berada di dalam rumah. Namun jika seluruh anggota keluarga lainnya beresiko tertular dari luar rumah seiring bermunculnya klaster-klaster di luar sana, bukan tidak mungkin akan membawa virus ke rumah dan menularkannya pada anggota keluarga dengan faktor resiko rentan tadi.

Tingkat infeksi virus corona terhadap setiap orang memang sangat beragam sesuai dengan tingkat ketahanan daya tubuh seseorang. Pada orang-orang tertentu dengan imun tubuh yang sangat baik, maka infeksi virus corona relatif tidak akan membahayakan hingga memerlukan perawatan lebih lanjut di RS.

Namun bagi mereka yang tergolong rentan, baik dari faktor usia maupun karena penyakit penyerta, infeksi virus ini akan berakibat sangat fatal dan perlu perawatan di RS hingga yang lebih intensif di ICU.

Jika tingkat ketersediaan tempat tidur untuk pasien Covid-19 sudah sangat mengkuatirkan seperti analisa di atas, lebih-lebih lagi tingkat ketersediaan ruang ICU yang sangat terbatas. Hanya soal bom waktu, carut marut pengelolaan RS akan terjadi di kemudian hari.

Belum lagi bicara soal jumlah tenaga medis dan perawat di RS. Jumlah yang terbatas dengan kemungkinan sulitnya menambah personil baru di kemudian hari tidak akan dapat mengimbangi penambahan pasien yang terus terjadi.

Seharusnya seluruh kondisi ini jadi perhatian kita bersama. Pemerintah harus makin stratejik merumuskan langkah-langkah untuk mengantisipasi permasalahan lonajkan kasus baru ini.

Kebijakan yang diprogramkan harus diupayakan terlaksana dengan baik. Juga soal "gas dan rem" terkait menghidupkan kembali roda perekonomian. 

Semuanya perlu dikontrol dengan optimal agar jangan sampai berfokus pada satu bidang namun resiko kesehatan masyarakat yang lebih luas jadi terabaikan.

Demikian pula peran penting masyarakat di lapangan dalam upaya melaksanakan protokol kesehatan di masa normal baru ini. Kedisiplinan masyarakat harus makin ditingkatkan, bukan sebaliknya bersikap tak kooperatif seperti orang-orang yang dilabeli sebagai "Covidiot".

Selagi Vaksin Covid-19 masih terus diuji, mari saling menjaga agar pandemi ini segera berakhir dan kita benar-benar bisa terbebas dari Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun