Mohon tunggu...
Jonru Ginting
Jonru Ginting Mohon Tunggu... wiraswasta -

Content Writer, Socmed Activist | Penerima penghargaan Super Blog (juara tahunan) di ajang "Internet Sehat Blog Award 2009" | Blog pribadi: www.jonru.com | Twitter: @jonru | Instagram: @jonru | Channel Resmi Telegram: @infojonru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Dinda, Ibu Hamil, dan Egoisme Kita

17 April 2014   18:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:33 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Karena semua perawi hadits itu tak bisa dipercaya."

Saya tentu sangat tak setuju pada pendapatnya itu. Sebab Rasulullah dan Hadits itu satu paket. Tak bisa dipisahkan. Bukanlah dalam ilmu hadits itu terdapat sistem yang sangat ketat untuk menentukan mana hadits yang shahih, dhoif dan seterusnya?

Tapi walau tak setuju, saya berusaha memahami kenapa dia bersikap seperti itu. Inilah sebuah contoh empati. Perlu dicatat, empati tidak sama dengan setuju. Jangan dicampuradukkan, hehehe... :-D

* * *

Salah satu "kesalahan" yang sering kita lakukan adalah:
Baru bisa berempati jika sudah mengalaminya sendiri. Seorang anak baru sadar betapa besarnya kasih sayang ibunya, justru setelah dia sendiri menjadi ibu.

Kita mungkin sering mendengar cerita tentang seseorang yang dulu suka melawan orang tua, tak mau mendengarkan nasehat ibunya, bahkan mengatakan ibunya terlalu kuno, dikit-dikit melarang, tak memahami dunia anak muda, dan seterusnya. Setelah orang ini menikah dan punya anak, barulah dia sadar bahwa apa yang dulu dilakukan oleh ibunya ternyata untuk kebaikan dirinya. Ternyata itulah pertanda cinta ibu yang tak terhingga untuknya. Dan ternyata, dia pun akhirnya melakukan hal yang sama terhadap anaknya!


Saya yakin, suatu saat nanti setelah Dinda menikah lalu hamil, dia akan mengingat kejadian hari ini, menyesal luar biasa kenapa dulu dia mencela ibu hamil. Sebab dia sudah merasakan sendiri betapa beratnya menjadi ibu hamil.

Memang, "menyadari setelah mengalami" itu bukan kesalahan. Karena itulah kata "kesalahan" saya taruh dalam tanda petik.

Masalanya, apakah kita harus mengalami dulu baru menyadari? Apakah kita harus mengalami duru baru bisa berempati terhadap orang lain? Bagaimana jika kita tak punya kesempatan untuk mengalami?

Saya seorang pria, insha Allah tak akan pernah bisa hamil. Jadi saya tak mungkin harus hamil dulu agar bisa memahami betapa beratnya mengandung seorang anak. Saya tak mungkin menunggu hamil dulu untuk bisa berempati terhadap wanita hamil.

Bisakah kita berempati tanpa harus mengalami sendiri? Insha Allah bisa. Caranya, kita memposisikan diri sebagai orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun