Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pandemi Covid-19 dan Konspirasi

2 Januari 2021   17:57 Diperbarui: 2 Januari 2021   17:58 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada masa awal merebaknya pandemi COVID-19, beberapa kalangan menduga bahkan menuduh pandemi sebagai sebuah konspirasi, bahkan "konspirasi global". Kelemahan dari tuduhan itu adalah kalangan yang menuduh tidak pernah mampu menunjukkan siapa atau apa yang berkonspirasi dengan siapa dan apa.

Tuduhan konspirasi global cepat hilang tersapu badai informasi COVID, penyebabnya ada dua. Pertama, kalangan yang merasa pandemi adalah sebuah konspirasi berjumlah sangat minoritas karena itu suaranya juga ikut minor. Alasan kedua: Jika betul pandemi adalah "konspirasi global", maka tidak ada siapapun atau apapun yang akan mampu menghadapinya.

Tetapi itu tidak membuat kita harus menelan bulat-bulat bahwa COVID-19 murni pandemi tanpa embel-embel, tidak ditumpangi kepentingan politik terutama kerakusan ekonomi. Kita semua sudah paham bahwa politik dan ekonomi adalah dua organisme yang saling berkelindan erat, keduanya merupakan sosok yang mengutamakan tercapainya tujuan tanpa kepedulian pada proses mencapai tujuan itu.

Jadi baiklah, kita singkirkan pikiran bahwa pandemi adalah konspirasi global karena dua alasan di atas. Pertama, pikiran seperti itu minoritas. Kedua, andai kata pikiran itu benar, toh tidak ada apapun yang dapat kita lakukan.

Mari mencoba pemikiran alternatif. Pada awalnya COVID-19 adalah pandemi murni. Entah itu pandemi yang tercipta oleh keadaan alam, atau terpicu oleh suatu kesalahan eksperimen di laboratorium, atau sebab-sebab yang lain, tetapi jelas bukan karena konspirasi siapa dengan siapa.

Tetapi pintu dugaan terhadap adanya konspirasi belum tertutup. Hanya saja konspirasi bukan untuk memicu pandemi, tetapi konspirasi terbentuk justru saat penanganan pandemi.

Setiap negara yang dilanda pandemi terpaksa mengalokasikan duit anggaran untuk menangani dampak pandemi, dan anggaran itu luar biasa banyaknya. Bayangkan, pemerintan Indonesia menyediakan duit 695 triliun rupiah yang dikhususkan hanya untuk menanggulangi pandemi ini.

Timbunan duit itu ibarat timbunan gula yang mengundang semua jenis semut untuk mengerubutinya. Mulai dari semut hitam, semut api, semut merah, semut halus, dan semut lainnya.

Timbunan uang inilah yang sangat potensial melahirkan konspirasi. Doa para konspirator adalah "semoga pandemi berlangsung terus sampai timbunan uang itu habis". Doa yang sangat mematikan dan menakutkan, sebab batas akhir dari pandemi adalah keberadaan uang. Jika uang sudah habis, pandemi berakhir, mengerikan. Jika masih banyak yang terinfeksi COVID-19, siapa yang peduli? Jika masih banyak yang mati karena COVID-19, siapa yang peduli?... toh uang sudah tidak ada di sana.

Korupsi bantuan sosial dapat menjadi salah satu bukti yang sangat valid tentang konspirasi. Sangat sulit untuk percaya bahwa korupsi itu hanya melibatkan satu orang, lebih mudah memahami bahwa korupsi itu melibatkan banyak orang, terstruktur, pembagian yang jelas siapa memperoleh apa, berapa, kapan dan di mana. Dengan begitu mudah juga untuk paham bahwa korupsi adalah bentuk konspirasi.

Menolak lupa, di awal pandemi harga masker dan hand sanitizer tidak layak disebut naik tetapi lebih tepat disebut meroket. Harga normal 75000 rupiah per pack (50 pcs) masker berubah menjadi 450000 rupiah, hand sanitizer yang 20000 rupiah itu menjadi 150000 rupiah. Ilmu ekonomi menjelaskan hal itu dengan teori supply and demand, tetapi ilmu ekonomi tidak mampu menjelaskan mengapa 75000 menjadi 450000. Kenaikan harga gila-gilaan hanya bisa dipahami melalui "teori konspirasi".

Beberapa bulan yang lalu, riset UGM menghasilkan suatu metode untuk mendeteksi apakah seseorang terinfeksi virus COVID-19. Mereka menyebut alat itu dengan nama GENOSE. Prinsip kerja Genose itu cukup sederhana dan mudah dipahami, yaitu mendeteksi VOC (Volatyle Organic Compound) yang khas COVID-19 pada hembusan nafas seseorang. Dan hasil uji coba menunjukkan genose jauh lebih baik dari rapid antibody, dan setara dengan swab antigen.

Tetapi orang harus membayar 275000 rupiah untuk swab antigen dan hasilnya diperoleh beberapa jam kemudian, sedangkan dengan genose cukup membayar harga antara 20000 sampai 25000 rupiah dan hasilnya bisa diperoleh beberapa menit kemudian. Selain itu, genose jauh lebih mudah digunakan dibanding tes rapid. Anda hanya perlu meniupkan nafas ke alat penampung, dan tunggu beberapa menit untuk mengetahui hasilnya.

Andaikata bangsa ini mengerahkan pikiran dan usaha yang sebesar-besarnya untuk memproduksi genose sebanyak-banyaknya, tracing akan sangat mudah dan murah, usaha memutus rantai penyebaran juga akan jauh lebih mudah.

Tetapi bukan itu yang kita lakukan. Pertama kita sibuk menghabiskan banyak uang untuk rapid antibody yang ternyata "false-nya" lumayan tinggi, lalu sekarang sibuk mempromosikan "rapid antigen" yang lebih mahal itu. Teman saya dua kali tes rapid antigen dan dua-duanya negatif, tetapi ketika swab PCR hasilnya positif. Uang 550000 rupiah untuk dua kali tes rapid antigen terbuang sia-sia, menjadi keuntungan buat pihak lain.

Saya yakin bahwa bangsa ini memiliki kemampuan untuk memproduksi genose secara massal dan dalam tempo singkat. Jadi cukup sulit untuk memahami mengapa kita tidak melakukannya, kecuali karena ada sesuatu yang menjadi penghalang untuk melakukannya. Genose harus mati, sebab dengan genose keuntungan yang maha besar akan hilang. Sesuatu itu paling mungkin adalah "konspirasi".

Pada awalnya kedatangan vaksin saya pikir akan menjadi berkah, ternyata bukan begitu. Vaksin yang datang justru menambah polemik.

Ketua IDI bahkan mengatakan para dokter mau disuntik vaksin jika presiden mau menjadi orang pertama yang disuntik vaksin. Pernyataan ini dapat memberikan pesan yang sangat kuat ke masyarakat bahwa vaksin itu tidak berguna, atau bahkan vaksin itu sangat berbahaya. Dan yang sangat mengherankan, ketua IDI tidak pernah menjelaskan mengapa mereka mengambil sikap seperti itu, mereka dengan senang hati membiarkan publik mencoba memahami sendiri. Tetapi dampaknya adalah, tingkat penerimaan terhadap vaksin menurun tajam.

Jika tingkat penerimaan vaksin menurun sampai di bawah 70%, herd immunity tidak akan pernah bisa tercapai, program vaksinasi menjadi mubazir, pandemi akan tetap berlanjut. Sampai kapan? ... mungkin sampai anggaran 695 triliun rupiah habis tuntas.

Konspirasi ...... ? jika vaksinasi sukses, herd immunity terbentuk, pandemi berakhir, sedangkan anggaran 695 triliun rupiah belum habis, lantas?

Maka celakalah orang-orang yang terinfeksi setelah anggaran habis sebab mereka akan terlantar entah di mana, lebih celaka lagi orang yang mati akibat terinfeksi COVID-19 setelah anggaran habis, sebab bangkai mereka akan dibiarkan membusuk di kamar mayat. Karena uang sudah habis, kepedulian juga ikut terkikis habis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun