Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kudeta Merangkak, Mengkudeta Negara

19 November 2020   14:11 Diperbarui: 19 November 2020   14:20 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KUDETA MENRANGKAK, BUKAN HENDAK MENGKUDETA PRESIDEN, TETAPI AKAN MENGKUDETA NEGARA.

Menciptakan sesuatu untuk mengalihkan perhatian (pengecoh), adalah strategi yang umum digunakan, terutama saat perang. Saat perang dunia ke 2 sedang mengamuk, Hitler sangat jago memanfaatkan strategi pengalih perhatian ini.

Buat suatu ledakan di ujung jalan, semua orang terpancing ke sana, memfoto dan berselfie ria. Target sesungguhnya adalah merampok Bank di ujung yang lain. Sebuah contoh yang sederhana.

Pengalih perhatian itu mesti mudah terlihat oleh publik, sangat dramatis, mengaduk emosi dan memantik kemarahan publik, melahirkan simpati terhadap korban.

Misalnya ledakan itu menyebabkan seorang pria tua tergeletak di tanah dengan sebelah kaki putus dan seorang anak kecil memeluk tubuh si lelaki sambil menjerit memilukan memanggil ayahnya, "ayaaaaaahhhhh .... jangan tinggalkan aku sendirian. Dan kebakaran yang diakibatkan ledakan itu memerangkap seorang ibu yang menggendong bayi di tengah kobaran api, suara tangisnya melolong minta tolong menembus setiap telinga, tetapi setiap orang tidak tau apa yang mesti dilakukan. Dramatis ..... mengaduk emosi .... memicu kemarahan .... tetapi seperti itulah pengecoh yang sempurna.

Publik, aparat, stasiun TV, kompak menyuarakan simpati dan memanjatkan doa untuk korban, kompak menumpahkan amarah terhadap pelaku, pemerintah sibuk membersihkan puing-puing. Seperti itulah pengecoh yang sempurna.

Ledakan di suatu tempat untuk mengalihkan perhatian dari Bank yang hendak saya rampok, tentu saja itu strategi yang terlalu sederhana jika yang kita bahas tentang tujuan politik, terutama jika tujuan itu adalah untuk mengubah haluan Negara. Tetapi prinsip dasarnya tetap sama, ciptakan situasi pengecoh.

Tidak usah ditutupi, bahwa masih ada sekelompok (kita belum tau berapa) orang yang ingin mengubah NKRI berideologi Pancasila menjadi NKRI berideologi agama, Negara agama. Impian itu masih tertanam kuat, diturunkan berkesinambungan dari generasi ke generasi berikut, impian yang dipelihara dan dipupuk salah satunya lewat khotbah.

Kita coba menggunakan teori pengecoh untuk melihat situasi saat ini. Bah, kita akan tiba ke kesimpulan yang seram. Kita semua, yang menginginkan NKRI tetap berazaskan Pancasila, kemungkinan kita sudah tersesat jauh dalam menghadapi kelompok yang menghendaki NKRI menjadi Negara agama. Sangat mungkin kita sudah masuk sangat jauh ke dalam perangkap pengecoh yang mereka buat. Dan, sangat mungkin kita sudah terlambat menyadari situasinya.

Tengok, setiap saat selalu muncul percikan api, mungkin itu untuk mengecoh. Isu kebangkitan komunis mungkin adalah bagian dari pengecoh. Isu itu mengalihkan perhatian kita, membelokkan topik pembahasan kita.

Kelompok yang rajin berteriak khilafah mungkin adalah kelompok pengecoh, sebab mata kita tertuju ke arah mereka, perhatian kita tertuju ke arah mereka. Kita merasa bahwa inilah kelompok sesungguhnya yang hendak mengubah dasar negara, padahal yang sebenarnya gerakan itu sedang berproses di tempat lain.

Keramaian di tengah pandemik mungkin adalah bagian dari strategi pengecoh, sebab lihatlah, energi dan perhatian tersedot ke sana. Setengah penduduk menuduh pemerintah lemah dibarengi oleh banyak makian, setengah lagi menuduh tuan rumah keramaian tidak tahu diri dan tentu saja dibumbui dengan kecaman.

Dan saya yakin, ke depan akan semakin banyak percikan api yang disulut dan di banyak tempat, mengecoh agar pemerintah beserta jajaran aparatnya disibukkan oleh keharusan untuk memadamkan api-api tersebut. Pada saat yang sama, gerakan diam-diam dan dalam kesenyapan untuk mewujudkan impian NKRI berazaskan agama merangkak perlahan-lahan mendekati tujuan, dan semakin hari semakin dekat.

Seperti apa bentuk  gerakan diam-diam itu sudah pernah ditayangkan di Cokro TV oleh bung Ade Armando, sayang sekali tidak ada yang menganggap itu sebagai hal yang serius.

Start point dari gerakan diam-diam itu adalah "penyusupan ideologi" ke mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Mengapa ke mahasiswa baru? ...

alasannya pertama sangat sederhana dan jitu. Kekuatan ideologi mahasiswa baru masih labil sebab mereka masih dalam tahap mencari bentuk, oleh karena itu mereka mudah diformat dan mudah diisi ulang.

Alasan kedua, di masa depan merekalah yang akan mengisi semua kursi kekuasaan di badan eksekutif, kursi kekuasaan di badan legislatif, dan kursi kekuasaan di badan yudikatif.

Yang paling perlu adalah menguasai badan legislatif, satu-satunya badan yang memperoleh hak untuk mengubah konstitusi. Yang diperlukan hanya 50% ditambah satu, 356 + 1 = 357 suara di parlemen. Dari puluhan ribu kader mahasiswa baru PTN setiap tahun, 357 suara di parlemen masa depan adalah jumlah yang sedikit.

Yang perlu hanyalah kesabaran terhadap waktu. Dari sejak menjadi mahasiswa baru PTN sampai duduk di parlemen membutuhkan waktu antara 20 tahun sampai 25 tahun. Jika anda masih ingat ucapan yang keceplosan dari seseorang bahwa NKRI bubar tahun 2030, maka dapat disimpulkan bahwa penyusupan ke mahasiswa baru PTN sudah dimulai sejak sekitar tahun 2005. Sesungguhnya apa yang dikatakan itu, NKRI bubar tahun 2030 sangat mungkin terjadi, atau meskipun tetap NKRI tetapi ideologinya berganti dari Pancasila menjadi Agama.

Konstitusi melarang mengubah bentuk Negara, harus tetap sebagai Negara kesatuan. Konstitusi juga melarang mengubah bentuk pemerintahan, harus tetap republik. Hanya saja, Negara Kesatuan Republik itu bisa berideologi apa saja. Iran adalah sebuah Negara kesatuan berbentuk republik tetapi berideologi agama.

Indikasi sesungguhnya sering terlihat. Perundungan siswa berbau SARA mulai tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas sudah makin sering terdengar, pemilihan ketua OSIS yang melibatkan agama semakin sering terdengar. Sialnya, kita semua melihat peristiwa itu hanya sebagai deviasi kecil pada sistem pendidikan, masalah cukup diselesaikan dengan permintaan maaf, bersalaman, lalu saling merangkul.

Tetapi jika kita masih percaya teori gunung es, percikan-percikan SARA di sekolah dan perguruan tinggi hanya puncak gunung es yang terlihat, maka cemaslah.

Maka saya wajib berharap, semoga skenario pengecoh tidak seperti ini.

Dan saya wajib berdoa, semoga kelompok yang ingin menjadikan Negara ini menjadi NKRI berazas agama tidak memiliki kemampuan berpikir sejauh seperti yang di atas itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun