Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

TV dan Panggung Sandiwara

30 Oktober 2020   16:42 Diperbarui: 30 Oktober 2020   16:47 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ahmad Albar, lewat lirik lagu, membuat frase "dunia ini panggung sandiwara" menjadi popular. Ahmad Albar tentu saja bukan orang pertama yang membuat frase tersebut, tetapi harus diakui lirik dalam lagunya, yang memang enak didengar dan didendangkan, membuat frase itu menjadi sangat populer. Orang yang saat ini berusia 50 taon ke atas hampir pasti hafal lirik lagunya bung Ahmad ini.

Ayo kita berpikir. Dunia ini adalah sebuah "panggung" pastilah benar, dan bukan sekedar panggung tapi panggung maha dahsyat. Bayangkan, semua drama kehidupan dilakonkan hanya pada sebuah panggung. Tetapi, di sini ada satu pertanyaan yang membutuhkan jawaban, siapa penontonnya?

Satu-satunya cara agar pertanyaan "siapa penonton" memiliki jawaban adalah jika dunia ini bukan satu panggung, tetapi banyak panggung. Saya menjadi pelakon di suatu panggung sekaligus menjadi penonton panggung lainnya. Jadi si B menjadi penonton buat panggungnya si A, sebaliknya si A menjadi penonton buat panggungnya si B. Maka kesimpulan  bahwa dunia ini terdiri dari sangat banyak panggung adalah kesimpulan yang logis, sah, bisa dipertanggungjawabkan di hadapan majelis panggung. Setiap kita membuat panggung sendiri, atau menjadi pelakon di panggung yang dibuat orang lain.

The big question is : apakah semua panggung harus menjadi "panggung sandiwara?" tidak adakah, entah hanya satu saja, panggung yang melakonkan realitas?. Untuk pertanyaan ini, saya tidak setuju dengan om Ahmad Albar bahwa dunia ini panggung sandiwara. Tetapi di dunia ini ada panggung sandiwara, ada juga panggung realitas.... masih ada secuil kejujuran yang beredar entah di panggung siapa.

Secuil kejujuran, itulah yang membangkitkan harapan akan masa depan yang lebih baik. Tetapi disitulah terdapat masalah, karena kini kita mengalami kesulitan untuk membedakan dan memutuskan yang mana panggung sandiwara, dan yang mana pula panggung realitas?

Dan tampaknya, mayoritas penonton lebih memilih dan lebih menyukai untuk menyimak lakon di "panggung sandiwara", memberikan aplaus meriah. Panggung realitas itu membosankan, sedangkan panggung sandiwara lebih dinamis dan variatif. Begitulah kata penonton, dan penonton itu menjadi nafas dari sebuah panggung. Panggung tanpa penonton adalah nihil.

TV adalah contoh besar untuk panggung sandiwara. Itu sebabnya, jika Anda tidak bisa menarik penonton, anda tidak akan pernah diundang. Orang munafik berpeluang lebih besar masuk TV dibanding orang yang jujur.

Apa yang dipertontonkan pada setiap acara debat di TV, ayo. Apakah di acara itu pernah entah satu detik saja  berdebat tentang solusi? ... nehi.  Apakah acara itu pernah menemukan serangkai jawaban? ... tidak. Setiap acara debat di  TV hanya sebuah tontonan, banyak penonton menjadi syarat mutlak, sedangkan penonton lebih memilih tontonan yang menarik, dan realitas bukanlah tontonan yang menarik.

Itu sebabnya saya sangat muak dengan semua acara-acara debat, bincang - bincang, atau acara sejenis lainnya. Tujuan dari acara itu hanya satu, rating dan iklan, yang berarti uang, selebihnya adalah sandiwara. Yang membuat muak adalah, semua acara itu diberi judul, atau dibungkus dengan kalimat yang sangat mulia.

Bayangkan, merasa memiliki penonton yang bejubel, pemilik sebuah acara sampai merasa bahwa dia berhak memanggil siapapun, dan yang dipanggil tidak boleh atau bahkan tidak berhak menolak. Ini sikap konyol dan  ketengilan yang luar biasa bukan?. Di setiap acara debat, semua menampilkan kengototan dan kekeraskepalaan di luar akal normal, menghargai pendapat orang lain menjadi kemewahan. Di semua acara ini, nihil edukasi.

Seseorang yang sering tampil di acara debat ini, sangat mengagungkan dan mengandalkan banyak referensi berjudul mentereng, referensi itu hasil pemikiran orang lain, hasil analisis orang lain, dan tulisan orang lain. Apa artinya?, .. dia sendiri tidak memiliki pemikiran, tidak memiliki analisis, dan tidak ada sebijipun buku yang sudah ditulis dan diterbitkan. Bbuat kawan yang satu ini, banyak referensi berarti tidak memiliki apa-apa, diri yang kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun