Mohon tunggu...
Jon Hardi
Jon Hardi Mohon Tunggu... Pengacara - ADVOKAT

Alumnus Fak. Hukum Univ. Andalas Padang lulus 1990.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia Negara yang Saleh?

6 Desember 2022   17:33 Diperbarui: 6 Desember 2022   17:39 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 Akhir-akhir ini kita dihirukpikukkan oleh Gerakan-gerakan "sipilis" (sekluarisme, pluralisme, liberalism). Pembahasan kita kali ini hanya fokus pada sekularisme. Apakah tepat sekularisme diterapkan di Indonesia, seperti halnya di negara-negara Barat?

Pengertian Sekularisme

Sekularisme adalah sebuah prinsip yang bertujuan untuk menjalankan urusan-urusan manusia berdasarkan pertimbangan sekuler dan naturalistik. Sekularisme sering didefinisikan sebagai pemisahan agama dari urusan sipil dan negara. (Wikipedia). Sekularisme merupakan upaya pemisahan agama dari negara. Negara untuk kegiatan dunia, berpikiran untuk kehidupan dunia, berusaha memajukan dunia. Tempat kegiatannya di mana saja, di bumi, di angkasa luar asal tidak di tempat ibadah. 

Andaipun dilakukan di tempat ibadah, itu hanya membahas aspek "menduniakan agama", seperti ekonomi, kehidupan sosial, dan upaya meredam radikalisme. Sedangkan agama dipersepsikan hanya untuk akhirat. Bicaranya tentang kematian dan hidup sesudah mati. Tempat kegiatan hanya boleh di rumah-rumah ibadah. Tabu membahas agama di tempat-tempat umum, apalagi di gedung-gedung milik negara. Sekularisme seakan melahirkan 2(dua) golongan. Golongan optimis untuk orang-orang yang cinta dunia dan golongan pesimis, apatis untuk orang-orang yang cinta agama. Sampai-sampai ada tokoh yang mengatakan, jika Indonesia ingin maju, tinggalkan agama.

Kalau ada pemimpin yang akan menerapkan kebijakan berbasis agama, maka dia dinilai anti kebhinnekaan, anti Pancasila. Aparatur negara yang berpenampilan sesuai ajaran agamanya disebut radikal. Minimalisasi agama merambah juga ke dunia Pendidikan, walaupun sebatas isu yang berkembang pada usulan Undang-Undang Pendidikan Nasional yang baru.

Masih segar dalam ingatan kita adanya isu Pemerintah akan menghapus Peraturan Daerah (Perda) yang berbau syariah. Untunglah isu itu tidak benar, seperti yang disampaikan sendiri oleh Menteri Dalam Negeri (waktu itu), Tjahjo Kumolo. Tapi adanya tindakan seorang gubernur baru-baru ini  yang menegur seorang guru sekolah menengah karena guru tersebut menyarankan seorang siswi mengenakan jilbab, tentu menyiratkan adanya anggapan pemisahan agama dan negara.

Apakah benar Indonesia merupakan negara yang sekuler? Apakah Indonesia jauh dari agama?   

Sejarah Hubungan Indonesia Dengan Agama

Sejarah perjuangan para pahlawan bangsa Indonesia sangat kental dengan nuansa agama, seperti perlawanan para pejuang Aceh (Teuku Umar, Tjut Nja' Dien, dan kawan-kawan), perjuangan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Hasanuddin di Sulawesi. 

Panglima Besar Jenderal Sudirman, walaupun dalam balutan penegakan nasionalisme, berjuang sebagai orang saleh dengan mengamalkan  ajaran Islam yang dianutnya. Demikian juga organisasi Islam, pesantren-pesantren melakukan perjuangan dengan tujuan agar agamanya terselamatkan di bumi Indonesia. Untuk sejarah yang lebih lengkap dan detail, kita bisa membacanya dari buku "Api Sejarah" karya Prof. Ahmad Masur Suryanegara.

Indonesia Negara Yang Saleh

Oleh karena hubungan sejarah yang menunjukkan kentalnya hubungan Indonesia dengan agama, maka para perumus kebijakan dasar negara Indonesia telah menempatkan faktor ketuhanan, agama dan kesalehan menjadi faktor utama berdiri dan beroperasinya negara Indonesia. Banyak alasan yang memperkuat argumentasi bahwa Indonesia merupakan negara yang saleh, walaupun tidak menyatakan dengan tegas bersandarkan pada hukum suatu agama.

Pertama, sebagaimana tercantum pada aline ke-3 Pembukaan UUD 1945: "Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."

Kedua, dasar-dasar untuk mencapai tujuan negara, yang kemudian dikenal dengan Pancasila, sebagaimana tercantum dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945: 

"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Ketiga, Pasal 29 ayat 1 UUD 1945:  "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa." Artinya, yang berketuhanan itu bukan hanya manusia sebagai warga negara Indonesia, melainkan juga Indonesia sebagai negara.

Keempat, kalimat pembuka pada setiap dokumen peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (mulai dari TAP MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden sampai Peraturan Daerah), selalu dimulai dengan kalimat: "Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa"

Keempat, salah satu tugas negara adalah mencetak rakyat yang saleh. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan, pasal 1 ayat 2 menyebutkan mengenai arti dari pendidikan nasional yang berbunyi, "Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman."

Kemudian Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional terdapat dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Kelima, Setiap keputusan hakim pengadilan, mulai dari Pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding sampai pengadilan tingkat kasasi, selalu diawali dengan kalimat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Artinya, para hakim sebagai pengadil, mempertanggungjawabkan keputusannya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menerapkan keadilan berdasarkan prinsip keadilan Tuhan Yang Maha Esa. 

Kelima, Persyaratan menjadi pemimpin/pejabat negara/daeraah di Indonesia (presiden, anggota MPR, DPR, Gubernur, Walikota/Bupati), yang pertama adalah "bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Setiap mulai menjabat mengucapkan sumpah berdasarkan agama dan kepercayaan. Sebagai contoh pada Pasal 9 ayat 1 UUD 1945 disebutkan: "Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat."

Keenam, Beberapa praktek kenegaraan Indonesia yang merayakan hari besar keagamaan, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, peringatan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW, peringatan Nuzulul Quran, perayaan Natal, perayaan Waisak, yang dihadiri oleh presiden selaku kepala negara.

Ketujuh, Setiap acara resmi kenegaraan, instansi, organisasi politik, organisasi massa, selalu menyelipkan acara do'a, sebagai wujud penghambaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kesimpulan

Bahwa Indonesia telah mengukuhkan dirinya sebagai negara yang saleh, dimana prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan Taqwa merupakan unsur yang paling esensial dalam praktek kenegaraan dan perilaku warganya. Bahkan (bukan berarti menyetujui), jika Pancasila diperas menjadi hanya satu sila, maka sila yang tersisa itu adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan sila Gotong Royong.

Dengan demikian, siapapun di negara Republik Indonesia ini, jangan lagi pernah ada keinginan menjadikan Indonesia negara sekuler, yang memisahkan Indonesia dari agama, atau menjauhkan agama dari Indonesia.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun