Oleh : Jon Hardi
Bagi seseorang yang bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun  karyawan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) – selanjutnya disebut Pegawai - mengenal istilah pensiun.Â
Pensiun berarti berarti berakhirnya masa kerja karena sudah memasuki usia pensiun. Kalau ASN dan BUMN biasa usia pensiun 58 tahun, untuk eselon tertentu ada yang usia 60 tahun. Ada juga yang usia pensiun 62 tahun seperti jaksa, ada juga yang 65 tahun, seperti hakim, dosen. Untuk pencapaian tertentu, seperti guru besar, hakim agung, maka usia pensiun bisa 70 tahun.
Apabila memulai masa kerja di usia 25 tahun, maka rata-rata seseorang bisa mengabdi selama 30 sampai dengan 45 tahun, yang berarti lebih dari separuh usianya dihabiskan untuk bekerja.
Bekerja dengan keras, spartan, mengorbankan tenaga, pikiran, bahkan nyawa, maka pekerjaan sudah mandarah daging dan menjadi warna khusus kehidupan Sang Pegawai. Predikat pegawai selalu dibawa dalam suasana apapun, tidak terkecuali dalam lingkungan keluarga, bertetangga, pergaulan sosial. Bahkan dalam mimpipun, dia tetap sebagai pegawai.
Maka wajar, begitu harus memasuki pensiun, Sang Pegawai sering dilanda ketidaksiapan mental. Apalagi bagi yang sudah mencapai posisi sebagai pejabat tinggi, kerap dilanda post power syndrome. Kehilangan fasilitas (gaji dan tunjangan yang besar, rumah dinas, kendaraan dinas, sopir, ajudan).Â
Anak buah, teman pergaulan tingkat atas, yang biasanya setia di sekelilingnya, tiba-tiba hilang begitu saja. Menjadi rakyat biasa. Tidak ada lagi penghormatan atau tepuk tangan setelah berpidato. Hilang sudah pujian setelah bernyanyi meskipun dengan suara cemprang. Lenyap sudah kawan-kawan konkow. Harus ngantri mengambil uang pensiun atau berobat. Kondisi ini tentu sangat menyakitkan, jika tidak siap.
Ada yang merasa seperti narapidana mati menunggu eksekusi algojo. Hanya menjalani sisa usia sambil menunggu Malaikat Maut menjemput. Putus harapan dan paranoid. Alhasil, tidak sedikit yang menderita stroke, jantung dan ketakutan, sehingga tutup usia dalam kondisi yang tidak berbahagia.
Seperti cerita Pak Nursal (sebut saja begitu), yang tiba-tiba dilengserkan dari jabatannya sebagai direksi sebuah BUMN blue chip. Selama 3 bulan beliau kelimpungan, belum percaya dan tidak tahu harus berbuat apa. Terbiasa bekerja di perusahaan yang beromset ratusan triliun, sekonyong-konyong tidak bisa berbuat apa-apa.Â
Untungnya beliau punya kawan-kawan yang baik. Beliau hanya mengekor kepada aktivitas kawan-kawannya. Yang penting ada kegiatan. Uang tidak masalah karena tabungan masih banyak. Untungnya, Pemerintah Kembali memberi beliau kepercayaan untuk memimpin sebuah BUMN lain.
Apakah masa pensiun memang menakutkan? Kalau tidak, bagaimanakah sebaiknya menyikapi masa pensiun ini?