Penyaluran tambahan likuiditas Rp200 triliun di akhir September 2025 menjadi ujian bagi efektivitas kebijakan fiskal rasa moneter: apakah mampu memperkuat kredit produktif dan menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Â
Pemerintah menyalurkan tambahan likuiditas Rp200 triliun ke sektor perbankan pada September 2025. Kebijakan ini disebut sebagai "injeksi kepercayaan" bagi dunia usaha, di tengah tanda-tanda pengetatan likuiditas dan kenaikan inflasi sejak pertengahan tahun. Tapi pertanyaan besarnya: apakah dana sebesar itu benar-benar akan mendorong pertumbuhan ekonomi, atau justru hanya memperlebar kesenjangan pembiayaan antar sektor?Â
Stabil tapi Belum Merata
Jika melihat perjalanan ekonomi lima tahun terakhir, Indonesia sebenarnya telah melalui fase pemulihan yang cukup stabil. Setelah sempat terkontraksi -2,07 persen pada 2020, pertumbuhan ekonomi nasional berhasil pulih ke kisaran 5 persen dan relatif bertahan hingga pertengahan 2025.
Namun, di balik angka yang terlihat stabil ini, tersimpan cerita ketimpangan antar sektor dan ketidakseimbangan dalam aliran kredit.
Data Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa uang primer sebagai indikator yang menggambarkan seberapa besar likuiditas yang disuntikkan ke sistem keuangan mengalami kenaikan tajam dari Rp1.147 triliun pada 2020 menjadi Rp1.774 triliun pada 2024, sebelum sedikit menurun pada paruh pertama 2025 karena kebijakan fiskal yang lebih hati-hati.
Menariknya, meski pasokan uang berkurang -1,48 persen pada tahun 2023 PDB tetap tumbuh 5,05 persen, dan pertumbuhan pinjaman mencapai 11,70 persen. Â hal ini menandakan bahwa mesin ekonomi tetap bergerak, terutama karena penyaluran kredit dari perbankan yang masih solid. dan sebaliknya walaupun jumlah uang primer meningkat signifikan pada tahun 2022 sebesar 26,96 persen hanya mampu mendongkrak pertumbuhan pinjaman sebesar 10,69 persen dan PDB tumbuh sebesar 5,31 persen
Kredit Tumbuh, Tapi Tak Semua Merasakan
Hingga Juli 2025, total kredit yang disalurkan bank umum dan BPR mencapai Rp4.691 triliun, naik drastis dibanding Rp3.228 triliun pada 2020. Tapi lonjakan itu tidak terjadi secara merata. sebelumnya Rp4.580 triliun pada tahun 2024.
Beberapa sektor justru menunjukkan pola pembiayaan yang ekstrem bahkan ada yang menerima terlalu banyak, dan ada yang justru kekurangan.
Contohnya, sektor pertambangan dan penggalian mengalami lonjakan kredit luar biasa: dari Rp32 triliun pada 2020 menjadi Rp175 triliun pada 2024 dan  Rp197 triliun pada 2025 (Juli), sementara PDB sektor ini hanya naik dari Rp790 triliun ke Rp955 triliun pada tahun 2024.Â
Rasio yang jauh lebih besar di sisi pembiayaan dibandingkan nilai tambahnya menandakan adanya overfinancing. Modal besar mengalir ke sektor yang belum tentu menghasilkan pertumbuhan ekonomi nyata.Â
Sementara itu, sektor konstruksi dan akomodasi makanan justru kekurangan dukungan pembiayaan atau underfinancing. Kredit konstruksi hanya tumbuh tipis dari Rp373 triliun ke Rp400 triliun pada 2024 dan Rp399 triliun pada 2025 (Juli), padahal PDB sektor ini naik dari Rp1.072 triliun menjadi Rp1.262 triliun.
Padahal sektor-sektor ini dikenal padat karya dan berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja.
Artinya, arah penyaluran dana bank belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan ekonomi riil.
Pola yang Berubah: Dari Uang ke Kredit
Jika ditarik ke belakang, hubungan antara uang primer, kredit, dan pertumbuhan ekonomi telah berubah. Pada masa pandemi, uang primer menjadi kunci untuk menjaga sistem keuangan tetap hidup. Bank Indonesia kala itu "menggelontorkan" likuiditas agar bank tidak kekurangan dana.
Namun kini, efeknya tidak lagi sebesar dulu.
Kredit yang disalurkan ke sektor produktif terbukti punya pengaruh lebih besar terhadap PDB ketimbang sekadar memperbanyak uang beredar.
Sejak 2023, pertumbuhan ekonomi tetap stabil meski uang primer naik terbatas. Ini menandakan bahwa peran intermediasi perbankan, yakni kemampuan bank menyalurkan kredit ke sektor yang tepat kini menjadi faktor penentu utama.
Dana Rp200 Triliun: Stimulus atau Sekadar Penyangga?
Kebijakan penambahan likuiditas Rp200 triliun di akhir September 2025 sejatinya adalah respon cepat pemerintah terhadap pengetatan likuiditas dan perlambatan penyaluran kredit.
Namun karena dana ini baru digelontorkan menjelang akhir kuartal III, dampaknya belum akan terlihat dalam data ekonomi hingga akhir tahun 2025.
Jika dana ini disalurkan efektif ke sektor produktif seperti industri pengolahan, pertanian modern, logistik, dan UMKM, efek penggandanya bisa cukup kuat terhadap pertumbuhan ekonomi. Tapi jika sebagian besar kembali mengalir ke sektor keuangan dan komoditas tambang, maka dampaknya bisa lebih terbatas hanya menambah aktivitas di pasar uang tanpa menciptakan nilai tambah di sektor riil.
Menanti Kuartal Pertama 2026
Kuncinya terletak pada seberapa cepat bank bisa menyalurkan dana tersebut ke sektor-sektor yang membutuhkan. Bila efektivitas distribusinya tinggi, tambahan likuiditas ini berpotensi menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5 persen sambil menahan laju inflasi dalam rentang target Bank Indonesia 2,5 persen.
Namun jika pola lama berulang, kredit menumpuk di sektor non-produktif sementara sektor padat karya masih kekurangan modal maka tambahan Rp200 triliun hanya akan jadi "penyangga sesaat" tanpa dampak jangka panjang.
Kebijakan penambahan likuiditas Rp200 triliun adalah langkah berani di tengah tantangan inflasi dan ketimpangan pembiayaan. Tapi efektivitasnya tidak ditentukan oleh seberapa besar dana yang disalurkan, melainkan ke mana dan untuk apa dana itu mengalir.
Masyarakat kini menanti, apakah Rp200 triliun itu benar-benar akan bekerja menggerakkan sektor riil, membuka lapangan kerja, dan memperkuat fondasi pertumbuhan ekonomi atau hanya menjadi angka di laporan neraca perbankan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI