Kendati The Fed menurunkan suku bunga pada Desember 2024 menjadi 4,25–4,50% dan mempertahankannya hingga pertengahan 2025, dampaknya tetap signifikan ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kebijakan “higher for longer”—mempertahankan suku bunga tinggi dalam waktu lama—mendorong penguatan dolar dan eksodus modal dari negara berkembang. Inilah yang kemudian menyebabkan tekanan pada nilai tukar rupiah dan ekonomi domestik, termasuk UMKM dan daya beli rumah tangga.
Inilah wajah nyata globalisasi ekonomi. Keputusan bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga dalam periode sebelumnya untuk menekan inflasi domestiknya menyebabkan modal global berbalik arah menuju Negeri Paman Sam. Akibatnya, dolar menguat dan rupiah tertekan. Bank Indonesia pun tak punya banyak pilihan selain menyesuaikan suku bunga acuannya demi menjaga stabilitas pasar. Dampaknya langsung terasa: bahan baku impor jadi lebih mahal, pembiayaan makin berat, dan daya beli masyarakat ikut melemah.
Pada 26 Juni 2025, nilai tukar rupiah dibuka pada level Rp16.270 per dolar AS, menurut kurs referensi Bank Indonesia. Ini menjadi salah satu posisi terlemah sejak pandemi COVID-19 setelah bulan April. Tak heran jika harga barang impor naik signifikan. Minyak goreng curah, misalnya, yang sempat stabil kini kembali menjadi Rp17.000 per liter. Bawang putih, gula, dan kedelai— komoditas yang tergantung pada impor—mengalami kenaikan serupa.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi tahunan (y-on-y) per Juni 2025 sebesar 1,87%, terlihat rendah secara makro. Namun bila ditelaah lebih dalam, kelompok makanan, minuman, dan tembakau justru mencatat inflasi sebesar 1,99%, lebih tinggi dari inflasi umum. Ini penting, karena menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), rumah tangga miskin di Indonesia menghabiskan lebih dari 60% pengeluarannya untuk kebutuhan makan. Kenaikan harga bahan pokok sekecil apa pun sangat membebani mereka yang berada di kelas bawah. Di sinilah tekanan global beralih menjadi keresahan lokal.
UMKM — yang mencakup lebih dari 99% unit usaha di Indonesia — pada tahun 2024 menyumbang sekitar 61% terhadap PDB nasional dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja. Ini menjadikan UMKM sebagai tulang punggung utama perekonomian kita. Ketika suku bunga naik, mereka menghadapi dua tekanan utama: biaya bahan baku naik karena rupiah melemah, dan biaya pinjaman juga naik karena bunga bank meningkat. Di saat yang sama, permintaan dari pelanggan ikut turun karena daya beli terganggu.
Jika tidak segera diintervensi, tekanan ini bisa berdampak lebih luas pada konsumsi nasional. Perlu diingat, konsumsi rumah tangga berkontribusi sebesar 54,53% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal I 2025. Melemahnya daya beli berarti melambatnya mesin utama pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan kondisi tersebut, kita tak bisa hanya bersikap pasif menghadapi dinamika global. Indonesia perlu membangun ketahanan ekonomi domestik yang lebih kuat, antara lain dengan: pertama, mengurangi ketergantungan pada impor pangan, terutama komoditas pokok. kedua, memberikan perlindungan pembiayaan bagi UMKM dengan skema bunga ringan. ketiga, meningkatkan efisiensi logistik dan distribusi pangan agar harga tetap terjangkau. dan keempat, Mengoptimalkan ketepatan sasaran bantuan, subsidi, dan insentif usaha.
Kebijakan moneter Amerika Serikat adalah urusan global, tapi dampaknya terasa hingga ke warung kopi di dusun terpencil. Inflasi nasional mungkin terkendali, tetapi jika harga beras dan minyak goreng naik, rakyat kecil tetap merasa menderita. Kita tidak bisa hanya melihat angka — kita juga harus mendengar suara warung. Dalam dunia yang makin terhubung, pemerintah yang kuat bukanlah yang mampu membaca grafik ekonomi dunia semata, tapi yang mampu melindungi rakyatnya dari efeknya. Di tengah pusaran global, warung-warung kecil di Indonesia layak mendapat perhatian lebih dari sekadar narasi makroekonomi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI