Mohon tunggu...
吳明源 (Jonathan Calvin)
吳明源 (Jonathan Calvin) Mohon Tunggu... Administrasi - Pencerita berdasar fakta

Cerita berdasar fakta dan fenomena yang masih hangat diperbincangkan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Haruskah Indonesia Memiliki Kementerian Bidang Kesepian?

26 Januari 2018   21:33 Diperbarui: 29 Januari 2018   10:42 2461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
activechristianity.org

Sejak memutuskan untuk hengkang dari Uni Eropa, banyak warga eropa yang memperkirakan negara Inggris akan kesepian, dikucilkan, dan menjadi sebuah negara pulau yang terisolasi. Fakta pun mendukung pernyataan tersebut, selain negara Inggris yang diperkirakan akan dikucilkan, warganya pun mengalami nasib serupa. Sebanyak 9 juta jiwa warga Inggris mengalami masalah serius dalam hal kesepian dan hampir seluruh dokter di Inggris memiliki 1 hingga 5 pasien tiap harinya yang memiliki masalah terhadap kesepian

Tidak hanya di Inggris, masalah kesepian juga dialami warga Amerika Serikat yang diperkirakan sebanyak 42, 6 juta jiwa penduduk yang berusia di atas 45 tahun menderita kesepian. Berdasarkan sensus terbaru, lebih dari seperempat warga Amerika Serikat hidup sendiri dan lebih dari setengah warga Amerika Serikat memilih untuk tidak menikah dimana jumlah pernikahan dan angka kelahiran semakin menurun dibandingkan sensus sebelumnya.

Masalah kesepian merupakan suatu hal yang serius dikarenakan berdasar hasil penelitian dapat membawa efek kematian. Beberapa efek yang ditimbulkan seperti peningkatan jumlah hormon stress dan inflamasi (peradangan) yang mengarah pada risiko Penyakit Jantung, Arthritis, Diabetes Tipe 2, Demensia Alzheimer, dan percobaan bunuh diri. Mereka yang berusia di bawah 65 tahun berisiko lebih besar mengalami efek kesepian dibandingkan para lansia dan menurut Dr. Holt Lunstad efek ini dapat berisiko bagi semua jenjang usia.

Bagi para lansia kesepian, merasa ditinggalkan; terisolasi; bahkan kurangnya persahabatan membuat mereka kurang bergairah untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Dalam pendapat Dr. Dhruv Kullar (peneliti Weill Cornell Medicine), kondisi dapat membawa dampak yang cukup membahayakan bagi manusia antara lain gangguan tidur, reaksi imun yang berlebihan, perlambatan berpikir. Menurut Mark Robinson (Kepala Age of UK), efek yang ditimbulkan lebih buruk dibandingkan merokok 15 batang per hari.

Namun tidak selamanya, seseorang yang terisolasi diidentikkan dengan seseorang yang kesepian contohnya orang-orang yang memilih untuk menjadi pertapa atapun hidup membiara. Sehingga, diungkapkan ciri-ciri orang yang dapat mengalami depresi adalah orang yang hidup di lingkungan masyarakat namun hubungannya tidak diterima secara emosional di masyarakat. 

Hal ini tampak dari hasil penelitian Dr. Carla Perissinotto dimana pihak yang paling banyak mengalami kesepian adalah mereka yang telah menikah, telah hidup bersama, dan tidak menunjukkan gejala depresi secara klinis. Hasil ini pun didukung oleh Dr. Holt Lunstad, dimana  menurutnya, seseorang yang memutuskan tidak menikah akan mengalami risiko yang signifikan dari kesepian namun tidak semua pernikahan memberikan kisah yang bahagia dan disimpulkan bahwa mempertimbangkan kualitas suatu hubungan menjadi hal yang sangat penting.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Action for Children, 43% dari mereka yang berusia 17 hingga 25 tahun mengalami masalah kesepian. Menurut Sense, 50% orang yang memiliki disabilitas akan mengalami kesepian tiap harinya. Menurut Action for Children, sebanyak 52 % orangtua mengalami perasaan kesepian. Menurut Alzheimer's Society, 38% orang mengalami demensia kehilangan temannya setelah didiagnosa. Menurut The Forum, 58 % imigran dan pengungsi di London menghadapi masalah kesepian. Menurut Independent Age, 1 dari 3 orang yang berusia diatas 75 tahun sangat merasakan kesepian.

Lantas, jika dibandingkan dengan kondisi Indonesia saat ini, butuhkah Indonesia akan kementerian yang mengurusi masalah kesepian ?

Menurut Vivek H. Murthy yang dihimpun dari Harvard Business Review, saat ini kita hidup di zaman dimana seluruhnya terhubungkan oleh teknologi dan semenjak era 1980-an, jumlah orang kesepian telah berlipat hingga 2 kali. Selama menjadi Kepala Ahli Bedah Amerika Serikat, Vivek H. Murthy mengungkapkan bahwa kekerasan, penggunaan obat-obatan terlarang, tindakan kelompok kriminal (gangster) sebagai sarana pengungkapan rasa kesepian. 

Ia pun juga pernah duduk bersama orangtua yang berusaha tegar akibat kehilangan anaknya karena overdosis. Kedua orangtua tersebut berusaha bertahan dari stigma dan proses dikucilkan orang di sekitarnya. Ia juga menemukan seorang wanita paruh baya yang berjuang sendirian melawan HIV dan tidak ada seorang pun yang memberitahu bahwa wanita tersebut sakit. Menurut Vivek H. Murthy, selama kariernya, penyakit pasien yang paling mematikan bukan penyakit jantung ataupun diabetes melainkan kesepian dikarenakan perasaan kesepian menjadi faktor utama penyebab penyakit klinis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun