Kami lahir di negeri Petak Umpet, kami besar di negeri Petak Umpet, kami selalu bermain petak umpet. Kami punya masing-masing petak, yang kami umpet-umpetin. Di negeri kami ada pengatur petak, kami beri mereka gelar (poli) Tikus. Â Satu kebiasaan mereka saat bermain petak umpet adalah bersumpah. Saking biasanya, mereka bermain-main dengannya. Begini kira-kira:Â
Di negeri kami, sumpah layaknya tissue. Nampak baru, mengkilap, kinclong, putih dan bersih serta elok sebelum diseka pada wajah. Namun lihat: bertahan cuma sebentar. Lalu. Remuk, penyok, kusut, kotor tak bertepi. Lepas bebas menumpuk pada meja dan berdesak-desakan mengantri mengikuti sejawatnya di tong sampah. Organik atau non- yang pasti dibuang, sajalah. (Poli) Tikus ditemukan hampir di semua negri. Ada di negeri sulap, ada di negeri angin, ada di negeri sana. Jumlah PoKus di negeri kami hampir pasti sebanyak seribu kali lipat dari satu sarang.Â
Sarang dipakai mereka bagai mini-polis tempat menata, meniti strategi bertahan; pada musim panen atau sedang gagal panen. Tak cuma meniti dan menata, ada yang ditugaskan sebagai mata-mata. Memata-matai penghuni sarang sebelah. Ironisnya, mereka tak takut mati, meski akhirnya mati juga tanpa meninggalkan gading. Hanya dua gigi cemumut. Gigi tumpul dan kumis tipis yang terpelihara awet.Â
Sebelum berlaga di habitat, beberapa ritual panen raya akan mereka ikuti. Setia sabar mereka bersandiwara. Dari rangkaian terpilihnya mereka untuk menduduki Kingdom Animalia, sebuah kerajaan dimana mereka dapat mengatur para penghuni habitat yang biasanya diproduksi dari hasil anomali wara-wiri mereka. Mereka naik status dari sekedar muridae sampai raja kingdom. Hanya satu dari sekian banyak  ritual mereka cemaskan. Ia. Ritual sumpah. Tapi tunggu dulu. Perasaan ini cuma setingan di awal saja. Selanjutnya? Jangan ditanya. Tak mengenal siang atau pun malam. Selama persediaan panen di luar sarang masih menggunung maka selama itu pula mereka berpasang kuku dan gigi. Menggaruk-giruk. Mencungkil. Memahat. Menyetrum. Sampai mengebom jarahan dengan sekelumit skrip. Mereka akan tertawa bila mendengar jerat raja hutan, anti rasuah, anti jarahan.Â
Negeri elokku masih disasar para tikus-marmut. Sumpah layaknya sampah. Ini hanya dongeng tentang negeriku. Aku tak ingin bersumpah pada negeriku. Aku malu bila disampahkan.
Poris, 5 Juni 2017: Dongeng di bawah kaki langit