Bisa dimengerti? Ya. Tapi yang namanya kondisi darurat, situasinya harus direduksi, durasinya tak boleh berkepanjangan. Jika sebaliknya, itu bisa melumpuhkan semangat kemandirian, keinginan bangkit dari keterpurukan. Menciptakan ketergantungan. Memupuk mentalitas menengadahkan tangan.
Inilah yang mustinya diungkapkan apa adanya oleh calon-calon penerus Jokowi. Mereka harus berani mengatakan bahwa Bansos secara gradual akan dan harus dihentikan, bukan sebaliknya (itu sebabnya tak satupun jari saya bernoda tinta KPU). Masih untung sudut pandang optimis begini yang saya gunakan. Dalam sudut pandang pesimis: makin lama dan makin besar Bansos diguyurkan, itu artinya kesenjangan makin lebar, kemiskinan dipelihara, dibiakkan. Ketergantungan dibudidayakan. Tragis.
Belum lagi kenyataan bahwa jika tidak dikerjakan dengan kejujuran, Bansos potensial disalahgunakan, dipolitisasi. Padahal, jaman dulu, duluuu sekali, Umar bin Khatab sudah pernah mencontohkan bagaimana Bansos seyogyanya dikerjakan. Bahwa hari ini contoh itu dilupakan, mungkin karena sudah kelamaan.
Dan ini lagi, ada kaidah fiqh yang membolehkan orang makan barang haram dalam kondisi darurat. Kalau sampean kelaparan dan bisa tewas kalau tak beroleh makanan sementara yang ada hanya anjing piaraan, anjing itu boleh dijagal dan dikonsumsi. Tapi bukan lantas sampean boleh makan daging anjing terus, yang harus diupayakan adalah gimana caranya sampean tidak kelaparan lagi. Terus menerus mengharap Bansos, apa hendak dikata, ibarat kecanduan daging anjing.
Bertobatlah. [GM]