Menu ke sepuluh dalam seri "Lek Lek Ngayogyakarta"
Ketika naik kelas 2 SD, mbakyu sulungku yang sudah kerja jadi kasir di toko bangunan di Wonosobo datang ke Jogja. Ketika pulang, aku dijak. Seneng no, sudah setahun aku ndak lihat rumah Wonosobo.
Ee.., jebul pulang ke tanah tumpah darah itu bukan sekadar liburan. Sekolahku juga dipindah. Asem ok. Ya sudah, akupun sekolah di Wonosobo. Asyik juga, di rumah isinya tidak melulu manula.
Nantinya, aku sempat "diculik" Bapak, dibawa ke Purwokerto. Disekolahkan di sana bareng kakak nomer tiga dan lima. Sudah pernah tak ceritakan kalau aku bungsu delapan bersaudara, kan? Nha, sesudah bapak ibu cerai tahun 1978, kakak-kakakku bubar mawut. Ada yang ke Jakarta ikut Oom, ada yang ikut bapak hidup secara nomaden, ada yang ikut ibu ke Jogja, ada yang tetap di Wonosobo.
Belum genap setengah tahun kelas 2 SD di Purwokerto, aku "diculik" lagi sama kakak ke dua, dibawa balik ke Wonosobo dan kembali sekolah di sana. Di sekolahan yang sama. Semrawut ya? Tapi asyik kok, aku jadi tau tempat-tempat jauh selagi umurku masih imut.
Sekolahku pinter lho... selalu juara. Ndak pernah dapat nilai 9, pasti ada komanya atau mentok di angka 10 kecuali Olah Raga yang paling pol 8. Â Makanya aku bisa melanjutkan ke SMP paling top di Wonosobo. Tapi pas kelas 1 SMP itu, bapakku wafat. Ibuku nikah lagi sama orang Magelang.
Entah kenapa, aku jadi nakal. Sekali pernah ditangkap polisi dan dipukuli (bayangpun: bocah kelas 1 SMP dihajar lima orang polisi sampai benjut-benjut) gara-gara nyolong lencana CDI motor Honda untuk hiasan dompet. Waktu itu memang lagi tren. Gaul.
Aku dipenjara semalam. Sejak itu, aku bersumpah tidak mau punya keluarga polisi. Ibu punya anak angkat polisi. Dia orangnya baik banget, tapi aku tetap benci polisi. Itu awal aku selalu jadi troublemaker di sekolah-sekolah yang berturut menerima dan memecatku. Ha..ha...
Setelah tiga SMP di Wonosobo dan satu di Magelang, kelas 3 aku pindah ke SMP di Jakarta, ikut kakakku nomer dua. Nggak taunya aku disekolahkan di SMP yang dikelola yayasan milik Kopassus di Cijantung. Ampun deh..., mungkin maksud kakak biar aku nggak bandel.
Tapi alih-alih jadi kalem, kenakalanku menjadi-jadi. Lha wong semua teman sekolahku anak kolong, Kopassus pula, Jakarta pula! Bisa dibayangkan nakalnya kayak apa. Sampai-sampai, sekolahanku itu diusir Jendral Sintong Pandjaitan dari komplek Kopassus Cijantung, Jakarta Timur dan disuruh bubar saja. Iya lho, ternyata aku generasi terakhir sekolahan yang sempat nebeng-nebeng gedung sekolahan sampai tiga kali itu. Keren ya...