Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sandyakala Jejak Pena

16 Januari 2022   10:58 Diperbarui: 16 Januari 2022   23:25 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak korban konflik di Garrisa, Kenya belajar menggambar.  Sketsa karya Farid Shan, ink on paper 30cm x43cm, 2013. (istimewa) 

Aku heran sekaligus sedih. Kok bisa ya, orangtua makin bangga kalau anaknya makin dini usia sudah pandai membaca? Apakah itu melulu soal over axpectation (hebatnya, English bisa membedakan antara "hope" dengan "expectation", kita cuma punya "harapan") atau karena kebijakan sumir tentang masuk SD harus sudah bisa baca?

Kebijakan itu lahir karena mengakomidasi kemalasan guru SD, atau karena beban muatan kurikulum membuat mereka tak punya waktu untuk mengajar baca tulis? Jawab dinda! Apa alasannya?

"Sobar.., sobar. Istighfar dong, Mas. Apa sih kelirunya kalau sejak usia dini anak kita sudah pandai membaca?" Kuandaikan begitulah dinda akan menjawab kegusaranku.

Seorang kawan, sewaktu masih nyantri di Bengkel Teater yang kurikulumnya disusun semau Rendra (semoga lancar jalanmu kembali padaNya) pernah bilang padaku bahwa pengajar di tingkat PAUD dan TK itu mestinya para Profesor Doktor Psikologi Anak. Tidak boleh kurang! Kenapa?

Bukan dia yang menjawab, tapi Piaget dan Rudolf Steiner. Apa jawab mereka?

Kau cari tahulah sendiri, jangan malas-malasan begitu. Yang pasti, pendidik harus ngerti benar derajat kematangan ragam kecerdasan pada anak. Tapi kalau dinda memaksa, aku cuma mau ngasih warning sebagaimana dikatakan  Steiner:

Membaca itu ilmu sakral ("Iqra! Iqra! Iqra!" kata Gabriel pada Muhammad). Ia sarana utama sejauh mana segenap potensi positif dalam diri manusia bisa berkembang. Maka, proses penguasaannya tak boleh buru-buru dan harus menyenangkan.

Jika proses itu sembarangan, apalagi penuh tekanan, anak mungkin pandai membaca, tapi dia tidak akan senang membaca. Sebab proses belajar membaca tanpa partisipasi aktif anak, alih-alih merangsang keingintahuan, malah jadi beban dan siksaan. Tanpa sadar, trauma kau tanam jauh di bawah sadar mereka.

Nah dinda, kalau hari ini kita menuding dengan telunjuk tegang bahwa teknologi digital adalah penyebab merosotnya minat baca milenials, kenyataannya: jari tengah, jari manis, dan kelingking kompak mengarahkan tuduhan ke hidung kita, orangtua dan para pendidik yang jadi komplotannya.

Cukup sampai di hidung kita saja, tak perlu kita ganti tunjuk hidung orangtua kita, orangtua orangtua (embah) kita dan seterusnya. Soal ini, sudah berulang kubilang bahwa tujuan dunia pendidikan (sekolahan) kita sejak dari sononya memang bukan untuk membebaskan, tapi memenjara. Modelnya behaviouris, bukan humanis. 

Duhai.., yang lalu biar lalu. Sejarah itu takdir, pilihan ada di hari ini, dan harapan tinggal di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun