Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sandyakala Jejak Pena

16 Januari 2022   10:58 Diperbarui: 16 Januari 2022   23:25 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak korban konflik di Garrisa, Kenya belajar menggambar.  Sketsa karya Farid Shan, ink on paper 30cm x43cm, 2013. (istimewa) 

Hasil survey kecilku menyebutkan, kawan Mha itu satu di antara seratus. Tiga anak dan duapuluh empat keponakanku seusianya termasuk dalam 99 anak generasi milenial yang phobi pada tulisan di atas kertas. 70% dari yang 99 itu sukanya main game online, 30% sisanya lebih gemar ber-TikTok ria atau jenis medsos lainnya.

Gampangnya, dari seratus bocah yang kukenal, satu baca buku, sisanya melototin hape. Busuknya, kelompok yang melototin hape, tak ada yang baca kompasiana. Ups!

Dinda, dikau punya kapasitas dan fasilitas jauh lebih mumpuni untuk meneliti kasus serupa di ranah yang menentukan nasib lebih banyak, bahkan seluruh, anak bangsa. Aku berharap itu bisa kau perbuat di sisa waktumu pada kedudukanmu itu, dan meninggalkan solusi sebagai legacy.

Bagiku sendiri, risau ini menimbulkan tanya: bila jejak pena di atas kertas tersesat ke ambang sandyakala, apa biang keladinya?

Dinda, dengan gampang kita bisa mendakwa teknologi digital sebagai si kambing hitam. Produktifitas literasi melalui media digital rasanya sudah jauh meninggalkan nenek moyangnya yang lahir di hamparan kertas.

Hampir di semua aspek (termasuk cuan), algoritma teknologi digital menang telak atas teknologi cetak. Barangkali itu sebabnya banyak praktisi TV boyong ke dunia daring dan bikin siaran sendiri. Juga koran, juga majalah, juga perpustakaan dan pedagang buku, juga semuanya. Dinda paham benar soal ini, karena dinda sendiri adalah salah satu ikon kemenangan itu.

Sayangnya, teknologi digital yang menang cepat itu mengorbankan kedalaman. Walau novel, majalah, skripsi, dan buku-buku ganti wajah jadi e-book atau pdf lalu bermigrasi ke perpustakaan maya, coba tengok memori gadget ananda, adakah mereka di sana?

Tulisan panjang melelahkan mata. Cuitan-cuitan singkat lebih memikat. Gambar-gambar banal merampok perhatian, paparan mendalam menjemukan.  Membaca jadi modus kadaluarsa. Flashing, kilasan-kilasan yang hanya nempel sebentar di permukaan ingatan menggantikannya.

Dinda mungkin tak sempat kenal "Lampu Merah", koran lokal Ibukota buah karya Dais yang berlian sekaligus fenomenal (dan kemudian, konon, Dais menyesal pernah menerbitkan media massa model begituan).

Tipologi literasi media digital jaman sekarang yang membanjiri homescreen jendela dunia baru, sebelas duabelas lah dengan gaya Lampu Merah: yang penting judulnya, isi suka-suka saja.

Cukuplah, kita kembali ke pangkal soal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun