Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sandyakala Jejak Pena

16 Januari 2022   10:58 Diperbarui: 16 Januari 2022   23:25 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak korban konflik di Garrisa, Kenya belajar menggambar.  Sketsa karya Farid Shan, ink on paper 30cm x43cm, 2013. (istimewa) 

Serasa baru kemarin aku punya kesibukan mengetik empat halaman teks dengan Words tiap Senin, mengonversinya menjadi dua lembar plat cetak pada Selasa dan Rabu, lalu mereproduksi tulisan itu menjadi ribuan lembar buletin dengan mesin stensil pada Kamis. Orang akan membacanya esok Jum'at di masjid-masjid. Laku itu panjang tapi mengasyikkan.

Masa-masa itu belum lagi lewat terlalu jauh, tapi bahkan Mha tak pernah tahu apa itu percetakan, apa itu stensil, apa itu buletin. Yang dia tahu, bapaknya tetap memproduksi teks yang bisa dibacanya di blog, facebook, dan grup WA. Tak ada lagi koran bekas apalagi baru di rumah.

***

Tapi dinda, sebelum kita menyerah pada nalar progresif peradaban, mari tak ajak dinda nongkrong di warung gorengan samping Balai RW di kampungku. Perbincangan remeh di  noktah mikroskopis di tengah bentang peta Nusantara itu barangkali bisa memperkaya sudut pandang kita.

Balai RW itu jarang dipakai untuk kegiatan warga. Konon, mantan RW yang mengklaim gedung itu berdiri berkat jasanya, tidak disukai orang karena arogan. Makanya, sejak beberapa tahun lalu Balai disewa untuk TK. Ramailah tiap pagi BMKG (Bakul Mendoan Kopi Gorengan) di sampingnya oleh emak-emak yang gabut nungguin anak.

"Jeng, sejak sekolah di TK, Sisca jadi pintar membaca lho. Padahal umurnya baru lima tahun. Memang Mbak Ina itu pinter kok ndidik anak kecil," Asti, emak muda itu memuji-muji Ina, guru TK. Tapi Putri, lawan bicara tetangga Asti tahu diplomasi: yang dipuji dan dibanggakan Asti adalah Sisca, anaknya sendiri.

Tadinya Putri tinggal diam. Tapi karena di grup RT  Asti  bolak balik mengunggah foto dan  video Sisca lagi membaca, lama-lama ia gerah juga. Diam-diam Putri menyewa Ina untuk mengajari Doni (5 tahun 7 bulan) anak Ina, di rumah sore hari harinya. Emak-emak lain yang tak mampu menyewa guru privat, menggenjot sendiri kebisaan membaca anak-anak mereka.

Waktu bermain dan mengeksplorasi lingkungan mereka berkurang. Naluri ingin tahu yang sedang musim kembang dirampok ketergesaan harus segera bisa.

Aku ingat kata-kata Piaget; sekali engkau mengajari balitamu sesuatu, seketika engkau sedang merampas kesempatan anakmu untuk menemukan sendiri pelajaran itu. Alangkah indah bila kau beri saja sarana-sarana dan kau bimbing mereka untuk menemukannya. Mungkin maksud Piaget, kita disuruh main petak umpet, sembunyi di tempat yang pasti ketemu.

Tapi siapa peduli? Setahun lagi bocah-bocah lucu itu masuk SD, dan salah satu syarat diterima masuk SD adalah calon siswa sudah bisa membaca. Menunggu berseminya minat mereka dengan sendirinya, keburu kadaluarsa.

Singkat kata dinda, kacamataku bilang, pendidikan di TK samping Balai RW itu bukan sarana pemenuhan hak anak atas pendidikan, tapi wahana mengumbar ekspektasi orangtua tentang pendidikan untuk anak mereka. Di TK-TK lainnya, engkau yang lebih permana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun