Mohon tunggu...
Joko Sutopo
Joko Sutopo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Biarlah Waktu yang Menjawab

11 Desember 2016   05:49 Diperbarui: 11 Desember 2016   07:02 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada dasarnya diriku bukanlah lelaki yang romantis, namun entahlah apa yang membuat kaum yang lembut hatinya itu terpikat, berawal dari kasak kusuk teman, sesuatu yang tadinya kurang kuperahtikan lambat laun menyentuh perasaanku pula. Benarkah dirinya tertarik padaku? Entahlah.. mungkin hanya sekedar kupu yang hingga di kelopak kembang, mungkin ia pergi mungkin pula ia datang kembali. Anehnya tidak hanya ada satu kelopak yang ada disekitarku, tapi mengapa hanya kelopakku saja ia ia hinggapi. Tentu ini buatku ingin tau.

Sebgai pujangga yang sedang mekar hatinya, maka diriku mulai dekat saja dengan ratu lebah yang yang tiap hari menyapaku. Aneh rasanya. Setelah dua tahun terkahir mekarku diabaikan. Kini ada yang menyambutnya. Memang romansa tidak dapat ditebak. Tapi apalah daku, hanya salah satu kelopak diantara banyak kelppak yang dominan. Dasar lelaki terlalu merendah.

Berbekal intuisi kawanku. Dan segenap petunjuk yang aku peroleh. Maka kucoba kurimkan beberapa kalimat padanya melalui pesan singkat. Namanya pesan singkat mubgkin rasa itu singkat juga. Terkejutlah diriku ketika tahu salah satu kawan dekatnya memberitahuku bahwa dia telah bercakap denganku melalui pesan singkat. Sontak aku kaget. Layaknya pria yang gelagapan diriku berusaha mengontrol ekspresi didepan kawan. Setelah kejadian itu hubungan kami mencapai titik seimbang yang baru. Yang lebih tepatnya lebih mutasyabihat.

Pandang memandang pun menjadi biasa bagi kami. Seakan aku mencoba menggali relung matanya. Semakin diriku mekar. Lama lama tragedi pandangan yang mematung itu menjadi tegur sapa yang menggantikan seribu bahasa. Kami hanya tersenyum kemudian. Sudah. Begitu saja setiap hari disaat kebetulan duduk ku dan singgasanany sedang berjauhan. Maafkan daku jikalau aku tidak dapat berkata. Biarlah senyum ini yang menggantikan. Batinku dalam hati.

Makin lama ekspresinya semakin membuatku seperti bara api yang menyala. Tiba tiba saja aku menjadi lelaki yang begairah menyambut fajar. Mungkin awalnya hanya saling sapa. Lama kelamaan hubungan kami semakin lekat saja. Bising dari lebah lain kami hiarukan. Perasaan semakin menjadi jadi.terpedaya aku olehnya.

Maka layaknya darah muda lainnya rindu memang menjadi nestapa, tapi itu penting setelah kejadian kemarin diriku mengajaknya ke suatu tempat. Berdua saja. Ya, kencan, atau apalah itu namanya. Tentu setidak romantisnya diriku tetap saja aku berharap memnemukan sesuatu yang romantis dari orang lain. Tak lain dari dirinya.  Maka dengan harap harap cemas aku melepas rindu. Berhaarap sesuatu yang kebih terjadi. Sungguh kencan kami tidak romantis,tapi menurutku duduk berdua berhadapan cukuplah. 

Tidak lebih dan tidak kurang. Kami menggali beberapa topik pembicaraan. Istilahnya point of interest memang kuakui dirinya cukup cakap dalam berbicara. Cendikia pula. Wawasannya luas. Tapi entah kenapa setellah kencan itu berakhir ada rongga yang menngajal di benak ku. Dan kuganggam untuk kubawa pulang. Kuharap rasaku tidak ikut ikutan senja. Selayaknya matahari yang mulai redup di sore hari. Entahlah, biarlah waktu yang menjawab.*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun