Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Money

Energi Kita Habis di Jalan Raya

7 Oktober 2013   05:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:53 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13810996351394954573

Sejak 2005, Goldman Sachs Investment Bank dan ekonom Jim O’Neill meng-kategori-kan Indonesia sebagai salah satu negara Next Eleven (N-11), yaitu sebelas negara di dunia dengan masa depan ekonomi yang paling menjanjikan dari segi investasi dan pertumbuhan. Akhir 2011, empat negara dengan pertumbuhan tercepat di antara grup negara-negara N-11 tersebut dikelompokan lagi sebagai grup MIKT , singkatan dari Meksiko, Indonesia, Korea Selatan dan Turki.

Prestasi ekonomi Indonesia di tahun-tahun belakangan ini memang luar biasa. Menurut Bank Dunia, pertumbuhan total Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia tidak pernah lebih rendah dari 6,2% per tahun sejak 2008. Dengan irama pertumbuhan setinggi ini sangatlah beralasan bahwa Standard Chartered (dengan berbagai asumsi) lalu mengeluarkan The Super-cycle report yang memperkirakan bahwa Indonesia akan berada pada posisi ke-5 pada peringkat total PDB negara-negara di dunia pada tahun 2030.

Dengan fakta statistik dan prediksi makro-ekonomi ini apakah lalu semuanya akan baik baik saja bagi Indonesia?

There's No Such Thing as a Free Lunch

Demikian kata ekonomis penganjur pasar bebas, Milton Friedman. Tidak ada hal gratisan di dunia ini. Tidak ada kemajuan tanpa harga yang dibayar.

Salah satu bayaran kita untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi tahun-tahun belakangan ini adalah konsumsi energy di sektor angkutan jalan raya.

Berdasarkan data Bank Dunia dan laporan dari jaringan Clean Air Asia (CAA) - Accessing Asia; Air Pollution and Greenhouse Gas Emissions Indicators for Road Transport and Electricity, kita dapat menghitung besarnya intensitas BBM yang dikonsumsi oleh angkutan jalan raya di 13 negara Asia pada tahun 2010.

Indikator ini menunjukan efisiensi sector angkutan jalan untuk berkontribusi dalam perekonomian. Semakin besar nilai indikator ini, semakin banyak pula bahan bakar minyak yang diperlukan oleh sector angkutan jalan raya suatu negara untuk menghasilkan pendapatan negara (pdb). Semakin besar nilai ini berarti semakin tidak efisienlah sektor angkutan jalan raya negara tersebut dari segi pemakaian bahan bakar.

Pada tahun 2010 sektor angkutan jalan raya Indonesia menghabiskan 0,000043 toe bbm untuk setiap US dollar pendapatan domestik bruto. Nilai 0,000043 toe ini setara kira-kira dengan 0,05 liter diesel untuk kendaraan. Dengan intensitas sebesar ini Indonesia sementara ini berada pada peringkat kelima di antara 13 negara Asia. Singapura sebagai negara dengan effisiensi tertinggi (0,000012 toe/USD) berada di peringkat pertama sementara Vietnam berada di posisi terendah (0,000085 toe/USD).

Ditinjau dari sisi intensitas konsumsi BBM, situasi negara kita masih cukup ‘aman’.

Yang ‘tidak aman’ adalah bahwa laporan CAA juga menyorotibahwa Indonesia dan Vietnam adalah dua negara dengan laju pertumbuhan intensitas emisi CO2 dan intensitas konsumsi bbm yang tercepat di antara ke-13 negara Asia yaitu sebesar 4,8% per tahun.

Lingkaran setan

Resiko dari tidak effisiennya pemakaian bbm di jalan raya bisa berdampak pada pendapatan domestik bruto negara kita. Inefisiensi berakibat konsumsi bbm yang berlebihan. Konsumsi bbm yang berlebihan menyebakan harga bbm cenderung naik semakin cepat. Tingginya harga bbm pada akhirnya akan menyebabkan kelesuan ekonomi yang berakibat pada produktivitas kita yang akan tercemin pada gagal tercapainya target PDB.

Penelitian Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2011 menyebutkan bahwa bbm angkutan jalan raya di Indonesia lebih banyak disedot oleh angkutan penumpang (pribadi) yang tidak secara langsung mendukung pertumbuhan PDB. Laporan CAA mendukung hasil tersebut; ratio pemakaian bbm di jalan raya antara angkutan penumpang dan barang adalah 60%:40%, sementara ratio rata-rata di Asia adalah 45%:55%.

Di penghujung hari akan menjadi jelas bahwa bayangan akan ‘baik-baik sajanya’ laju perekonomian kita dan dilanjutkannya segala kebijakan subsidi pergerakan penumpang dengan kendaraan pribadi adalah dua hal yang mustahil bisa hidup berdampingan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun